Minggu kedua Jelita bersekolah di Bina Karya, tidak seperti biasa, hari ini ia berangkat sendiri menaiki kendaraan umum. Namun, kemalangan menimpanya hari ini, angkutan umum yang ditumpanginya mogok. Jelita turun, mengecek jam, benar-benar malang! Sepuluh menit lagi bel masuk dan ia masih belum menemukan angkut pengganti. Ada beberapa yang lewat, tapi selalu penuh.Berdiri ia di tepi jalan, menengok kanan kiri dibarengi kepanikan. Kenapa Tuhan tidak memberi manusia sayap saja. Kalau manusia selalu dituntut untuk tepat waktu dan bumi selalu macet. Pikirnya dalam hati.
Ada pengemudi pesva berwarna hijau tua melewati Jelita. Ia melajukan skuternya dengan kecepatan di atas rata-rata. Jelita mengusap-usap sepatu converse hitamnya bermaksud membersihakan noda yang menempel akibat ulah si pengemudi pesva, ia terciprat air hujan yang belum mengendap ke tanah.
“Naik,” tiba-tiba ada si pengemudi pesva kembali di hadapan Jelita
Tak ada respon lagi. Ingin marah, Jelita redam. Ia benar-benar tak mengerti dengan pikiran si pengemudi vespa. Tadi ia telah membuat kesalahan, dan sekarang tidak ada kata maaf yang terlontar. Lalu, menyuruh Jelita naik ke skuternya? Menyebalkan! Eh, tunggu, menyebalkan? Jelita amati bentuk tubuh manusia ini. Ya! Ia tahu! Meski wajahnya ditutupi oleh helm, orang ini tidak pandai menyembunyikan dirinya yang sebenarnya siapa. Jaya Laska!
“Mau enggak?” tawar Jaya
“Enggak usah maksa!”
Dengan kalemnya Jaya menyalakan skuter kesayangannya kembali, “Ya udah kalau gak mau, cari angkot jam segini mustahil, Ibu-ibu pada ke pasar, siswa-siswi pada sekolah. Penuh.”
“Satu lagi, sekarang pelajaran guru kiler. Siap lo dihukum karena telat?”
Jaya sukses membuat dinding pertahan Jelita untuk tak mau ikut bersamanya roboh. Jelita naik ke pesva tua itu dengan ragu. Sementara, di balik helm Jaya tersenyum picik.
Bergegas Jelita turun ketika vespa telah terparkir sempurna di halaman parkiran sekolah. Jelita merogoh saku bajunya, mengeluarkan uang satu lembar sepuluruh ribu dan memberikannya pada Jaya, "Saya gak mau punya hutang budi,” tak mau mendengar sepatah kata dari Jaya, Jelita lekas meninggalkan halaman parkiran beserta vespa tua itu dan pemiliknya.
“Gila! Emang gue gojek apa!” gerutu Jaya.
Waktu mengemudikan pesvanya, Jaya tak sengaja menemukan Jelita di tepi jalan. Tebakannya benar, Jelita sedang ada dalam kesulitan. Tentu Jaya senang bila rivalnya itu dalam kesulitan, ia juga sengaja mengemudinya agak menyisi supaya Jelita terkena cipratan air. Penderitaan Jelita adalah kebahagiaan Jaya.
Kenapa ia kembali lagi dan menawarkan Jelita untuk pergi bersamanya? Ah, bukan, Jaya tidak butuh uang sepuluhribu, itu adalah bagian dari rencananya.
Pupil mata Jelita sontak melebar saat melihat guru berkacamata plus tebal sedang menerangkan rumus-rumus fisika di depan kelas. Jelita mengurungkan niatnya untuk masuk, sembunyi ia di balik tembok kelas. Menunggu Jaya untuk segera masuk ke kelas. Bukan apa-apa, Jelita tidak mau kena hukum sendirian.
“Ngapain lo di sini?” Jaya akhirnya datang.
“Udah ada guru di dalam.”“Oh,” Jaya berbalik kembali, berniat meninggalkan kelas
Jelita menarik tangan Jaya. Tidak bisa. Lelaki menyebalkan ini tidak boleh lolos dari hukuman. Jaya berbalik, melihat tangannya yang ditarik, dendamnya menyulut kembali, dipandangnya gelang biru bertuliskan Bobotoh girl itu, lalu beralih pada dua pasang mata pemakainya tanpa kedip, tatapan kebencian. Jelita mengerenyit, ia heran dipandang sebegitunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]
Teen FictionJelita menengadah, memandang langit tribun, "Jaya," masih dengan menengadah, Jaya menoleh. "Seharusnya suporter Persib Bandung dan Suporter Persija harus banyak belajar dari langit." Giliran Jaya menengadah mengikuti aliran mata perempuan itu lalu i...