Di dalam bis, bersama para komunitas Jakmania menuju Surabaya.
“Jaya boleh gak saya lepas jaket saya?” tanya Jelita, yang duduk bersebalahan dengan Jaya.
“Kenapa?”
“Saya pake kaos Persib.”
Jaya terkekeh kecil dengan tingkah Jelita yang ingin melepas jaketnya itu karena ragu dicampur mimik ketakukan, ia tak cukup berani memakai pakaian berseragam Maung Bandung di antara para Jakmania.
“Gak perlu takut. Memang siapa orang yang melarang?”
Terlihatlah Jelita memakai kaos Maung Bandung berwarna biru tua. Jikalau ada yang kontra di antara Jakmania karena adanya Jelita, Jaya jadi orang pertama yang membela Jelita. Namun begitu mereka mengetahui, tidak ada protes apa pun, tidak ada pertentangan apa pun, mereka oke-oke saja, karena mereka sadar tidak ada gunannya membuat kegaduhan. Membuat pertikaian. Menentang perbedaan. Sekali lagi, mereka tahu, tidak ada gunanya. Bagi mereka, keberagaman adalah keunikan.
Ada di antara mereka yang sudah lelah dengan kekerasan yang terjadi di dalam dunia suporter, nyawa terbuang sia-sia hanya demi siapa yang terlihat unggul di antara mereka. Keunggulan siapa yang lebih buruk. Sejarah-sejarah buruk dalam suporter telah terurai dalam negeri, kita memang tidak bisa menghapusnya begitu saja, tapi kita punya pilihan untuk memperbaikinya di masa yang akan mendatang dengan cara tidak mengulang, atau menumbuhkan kembali digenerasi-generasi berikutnya.
Kita ubah dunia persuporteran menjadi dunia yang harmonis bukan tragis. Tidak penuh ketakutan, justru keberanian untuk menyatukan.
Jelita terlelap di bahu Jaya. Jaya pandang gadis itu, matanya memejam, seperti manusia polos tanpa dosa, bulu matanya yang lentik menambah daya pikat, gadis yang tadinya Jaya benci berakhir Jaya kagumi. Gadis yang mengubah kehidupan Jaya, yang melunturkan kebencian pada diri Jaya dengan menjadi dirinya sendiri.
Orang-orang yang berada dalam bis berindentitas suporter ibu kota berhamburan ke luar menuju bangunan megah yang termasuk salah satu stadion terbesar di Indonesia. Sebelum memasuki stadion, Jelita dan Jaya saling bergenggaman, berdiri di depan Gelora Bung Tomo, mengamati orang-orang sekitar, juga sedang mempercayai hatinya masing-masing, meyakinkan dirinya sendiri, bahwa mereka berdua benar-benar ada di sini.
Sejak pertama memasuki gerbang Gelora Bung Tomo sampai duduk di kursi tribun Jelita dan Jaya tak henti-hentinya menjadi sorotan beberapa pasang mata karena baju mereka yang berbeda atribut tapi bisa saling bergenggaman tangan, bahkan beberapa dari mereka ada yang memotret dua manusia berbeda itu yang sedang asyik memandang lapangan hijau dan langit.
Sebelum waktu pertandingan berakhir, sebelum langit Surabaya tampak semakin pekat, sebelum orang-orang di tribun berbondong-bondong ke luar, di tengah ingar bingar manusia yang sedang meneriaki apa yang didukungnya Jaya memantapkan untuk mempertanyakan jawaban yang belum Jelita jawab.
“Jadi gimana?” Jaya setengah berteriak karena suara di stadion semakin bergemuruh pada babak penentu siapa yang memenangkan di antara kedua tim.
“Hah?” suara Jaya nampaknya masih kalah oleh suara teriakan para suporter.
“Mau gak jadi pacar gue?” ia jadi berbisik ke telinga Jelita. Begitu jelas terdengar, Jelita menggeleng seraya tersenyum, bukan berarti menolak bukan juga mengiyakan, ia hanya geli saja oleh kelakuan Jaya.
“Jelita, kalau Persija menang. Lo jadi pacar gue ya?”
“Yaaah kumat lagi wataknya Jaya Laska yang tidak mau menerima penolakan.”
“Bukan begitu. Emang perasaan itu sifatnya gak bisa dipaksa tapi siapa sih yang mau perasaanya dibiarkan terombang-ambing, tanpa arah, tanpa jawaban.”
Jelita tertawa mendengar keluhan Jaya. Jaya pun kesal dengan respon Jelita yang masih sama. Ia merutuki dirinya sendiri juga bersumpah jika nanti balasan perasaanya tidak akan samar seperti sekarang, ini cuma masalah waktu, hanya perlu menunggu.
Ya menunggu. Menurut Jaya itu bukan hal rumit, meski sebagian orang bilang kalau menunggu itu membosankan. Bagi Jaya, menunggu tidak selalu membosankan jika dibersamai dengan berusaha. Bukan, kah mereka juga bilang bahwa usaha tak akan menghianati hasil? Jadi, kenapa bisa menunggu dibilang membosankan bila menunggu dengan dibumbui pergerakan hasilnya tentu tak akan sia-sia.
Para suporter berhamburan ke luar. Kali ini, Persibaya Surabaya yang memenangkan pertandingan. Tunggu dulu, saat pertandingan dimulai sampai berakhir tidak ada nyanyian-nyanyian rasis terdengar, umpatan-umpatan kasar, atau pun hal-hal yang tidak sepatutnya, semuanya berjalan dengan damai juga tentram.
Begitu pula pada saat pertandingan dimenangkan tuan rumah, para Jakmania yang bertandang menerima dengan lapang dada, tidak ada aksi menghujat, membenci atau pun hal-hal buruk lainnya.
Keluar dari Gelora Bung Tomo dengan tertib. Mungkin ini ada pengaruhnya dari poster-poster ajakan damai yang Jaya beserta komunitasnya tempel dan direspon baik oleh Bobotoh hingga viral baik di media masa mau pun di dunia nyata.
Namun, tetap saja ada kekesalan di hati Jakmania saat para atlit yang diandalkannya tidak memenuhi ekspektasinya, termasuk Jaya Laska, menerima kekesalan yang berlipat dari tim kesayanganya dan juga perempuan pujaanya. Maka, ia ke luar dari Gelora Bung Tomo dengan membiarkan Jelita mengikutinya dari belakang. Tak masalah berjarak sedikit, toh ada teman-temannya yang lain di belakang Jelita.
Namun nahas.
Saking berdesak-desakannya manusia saat ke luar dari stadion, Jelita terpecah dari rombongan, ia terasing, bingung mencari-cari Jaya, tidak ada orang yang ia kenal sama sekali dalam keadaan ia yang masih memakai bertuliskan Maung Bandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]
Roman pour AdolescentsJelita menengadah, memandang langit tribun, "Jaya," masih dengan menengadah, Jaya menoleh. "Seharusnya suporter Persib Bandung dan Suporter Persija harus banyak belajar dari langit." Giliran Jaya menengadah mengikuti aliran mata perempuan itu lalu i...