“Koran, koran, koran...”
Kala dalam macetnya kota sepulang sekolah, saat dibonceng Jaya, pandangan Jelita memusat pada bapak-bapak penjual koran yang sedang mengitarai jalan menawari jualannya.
“Pak, koran satu,” Jelita setengah berteriak karena penjual koran agak jauh dari motor Jaya.
“Tumben beli koran,” komentar Jaya.
“Berapaan, Pak?”“Duaribu rupiah.”
Jelita langsung membaca apa yang terpampang pada koran tersebut, matanya terbelalak, terkejut.
“Jaya liat!” serunya, seraya menunjukan tulisan pada koran itu.
Dua remaja yang berpengaruh dalam perdamaian dua suporter. Di sana ada gambar dirinya saat di Surabaya dan saat mengelilingi Jakarta Bandung kala bersama Bobotoh dan Jakmania. Jaya pun tersenyum saat membaca, dan tidak bersuara apa-apa lagi.
“Kok diem sih?!” Jelita agak kesal.
“Memangnya harus ngapain?”
“Ya enggak apa-apa,” seraya menutup koran tersebut. Vespa tua kembali melaju.
“Jaya kamu bangga gak terkenal kaya gitu?”
“Terkenal itu dampak bukan suatu hal untuk dibanggakan. Ada yang lebih harus dibanggakan lagi, lebih dari itu, saat kita mencoba melakukan apa yang baik, semesta memudahkan, semesta membuka hati mereka yang mau ikut berpartisipasi menyuarakan kedamaian. Seolah alam raya merestui semua yang terjadi.”
Jelita tersenyum. “Kamu mah terlihat biasa aja Jaya.”
“Udah tahu Ta, di internet banyak.”
“Kita?”
Jaya mengangguk.Sulit dipercaya. Pertemuan kedua suporter ternyata banyak disoroti media, menjadi trending dan berita hangat akhir-akhir ini, viral bahkan mendunia. Hingga ada beberapa media yang mencari-cari otak dibalik perdamaian ini untuk mereka wawancarai.
Jaya dan Jelita terpanggil oleh sebuah satu acara untuk diwawancari, ini bahkan di luar kendali, mengapa ia yang tersoroti? Bahkan, beberapa foto dirinya dan Jaya saat di Surabaya sempat viral, media benar-benar menelisik.
“Saya dan Jelita mulanya dua orang yang saling membenci. Sepakbola adalah hal terlarang bagi kami berdua, saya yang mempunyai luka di masa lalu atas kasus yang menimpa sepupu saya dan Jelita punya alasan tersendiri mengapa ia dilarang,” terang Jaya saat dirinya tengah diwawancari.
“Alasan apa kira-kira jika kami boleh mengetahui terkait Jelita? Dan kenapa seorang Jelita bisa sebegitu cintanya pada dunia sepakbola?” tanya si pewawancara.
“Karena saya seorang perempuan. Mereka bilang, perempuan tidak cocok untuk terlalu mendukung sepakbola. Terlalu bahaya, apalagi ditengah-tengah hubungan suporter yang kurang baik menyebabkan keluarga saya yang tidak sepenuhnya mendukung. Tapi saya tidak bisa menahan hobi saya, saya tidak mau dibatasi sebagai seorang perempuan. Seperti kata orang-orang kutu buku, buku tidak pernah memilih siapa pembacanya. Kata orang-orang yang suka minum kopi, kopi tidak pernah memilih siapa peminumnya. Dan begitupun sepakbola, bola tidak pernah memilih siapa penontonnya. Jadi, ya wajar-wajar saja. Saya cinta bola juga termasuk warisan dari Abah.”
“Jadi pelarangan itu sendiri yang membuat kami membuktikan bahwa kami tidak bisa dibatasi. Bahwa sepakbola bukan sesuatu yang dapat meregang nyawa. Sepakbola adalah nyawa bagi setiap penikmatnya.”
“Hal apa yang dapat mendorong kalian untuk memberanikan diri mendobrak permusuhan?”
“Saya awalnya gak yakin bisa sampai menyatukan begini. Jujur, dulu saya termasuk orang yang membesar-besarkan rivalitas. Setelah hubungan saya dan Jelita membaik, Jelita mengajak saya untuk bergerak menyatukan, saya agak ragu tapi berpikir kembali, saya dan Jelita saja bisa damai mengapa orang-orang di luar sana tidak bisa,” terang Jaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]
Fiksi RemajaJelita menengadah, memandang langit tribun, "Jaya," masih dengan menengadah, Jaya menoleh. "Seharusnya suporter Persib Bandung dan Suporter Persija harus banyak belajar dari langit." Giliran Jaya menengadah mengikuti aliran mata perempuan itu lalu i...