Ada perasaan menggembirakan bukan main pada pemandangan pagi ini di Jakarta, ternyata masih banyak manusia yang berprilaku layaknya manusia, masih banyak manusia yang tak henti-henti menabur kebaikan, menyebarluaskan kebenaran.Benar kata Wiji Thukul seorang penyair pemberani yang hilang sejak 27 Juli 1998 runtuhnya orba hingga sampai hari ini, ia bilang bahwa kebenaran akan terus hidup. Sekali pun ada yang mencoba menghanguskan, mustahil berhasil, karena Tuhan sudah menanamnya di jiwa-jiwa mulia.
Pada tembok-tembok kumuh Jakarta, pada pohon-pohon besar jalanan, pada bis kota, pada kendaraan umum lainya plakat yang mengajak kedamaian antara suporter Maung Bandung dan Macan Kemayoran tertempel di mana-mana.
Begitu pula saat Jelita menginjakan kaki di Bina Karya, poster juga terekat di mading dan sekeliling sekolah. Keingintahuannya memuncak, siapa manusia yang berhati nasionalis itu?
Tiba-tiba Jelita menemukan Bowo sedang merekatkan salah satu plakat yang bergambar langit berwarna biru bersatu dengan oranye. Tunggu, langit biru bersatu dengan jingga?
O, iya, di jalanan tadi juga ada banyak bermacam-macam ajakan kedamaian, yang paling menyentuh hati Jelita adalah salah satu plakat yeng bergambar macan dan harimau sedang bersalaman dan diimbuhi tulisan begini, maung kita damai ya, kasihan manusia.
“Bowo, kamu yang nempelin ini?” Tanya Jelita
“Yang nempelin sih anak-anak, ini idenya si Jaya.”
“Jadi yang di jalanan itu, akarnya teh dari komunitas kalian?” matanya berbinar tak percaya dan Bowo mengangguk mantap.
Jaya? Bagaimana bisa? Ia yang tadinya anti terhadap perdamaian, kini jadi seseorang yang menyuarakan kedamaian itu sendiri. Ini sulit dipercaya, semesta mampu membuatnya luluh.
“Jaya di mana?”
“Di rooftop.”
Lekas-lekas Jelita berniat menuju rooftop guna menemui Jaya. Langkahnya sejenak terhenti, ia berpikir lagi, sedang apa Jaya di rooftop, bersama siapa pula? Apa harus Jelita menghampirinya ke sana, terakhir Jelita ke rooftop pada saat hubunganya berakhir dengan Alan.
Tempat itu menjadi tempat paling menyakitkan, tempat paling enggan Jelita kunjungi karena bisa saja kenangan pahit berhamburan kembali jika ke sana. Tapi, Jelita ingin benar-benar menemui Jaya kali ini. Tangga demi tangga ia tapaki dengan perlahan, keraguan dan keyakinan menyelimuti dirinya saa ini. Dan.. Ketika telah sampai, Jaya sedang duduk di salah satu kursi, sendiri.
“Jaya!” panggilnya
Jaya segera berbalik, senyumnya terbit dengan mengembang, “Sini duduk.”Ada dua kursi di sini, yang satu yang telah diduduki Jaya, yang satu kosong, ini seperti sudah sengaja disediakan. Jelita kemudian duduk di kursi kosong itu, bersebelahan dengan Jaya seraya memandang ke luasnya semesta.
Tapi keduanya belum ada yang mengeluarkan suara, mereka tak membiarkan sepasang matanya bertemu, malah langit yang berhasil mencuri perhatian indra penglihatan mereka.
Mereka sibuk dengan ingatannya masing-masing, ingatan Jelita diisi dengan kejadian beberapa hari lalu. Di sini. Di saat hubungannya selesai. Sementara Jaya sibuk memikirkan bagaimana caranya memulai suatu perbincangan serius.
“Ke Surabaya kayannya seru.”
Ingatannya perihal masa lalu teralih dengan ajakan Jaya barusan, alisnya bertaut, “Mau apa?”
“Masih lama kok.” dengan tampang santainya Jaya kembali mengalihkan tatapannya pada langit.
“Makasih.”
“Untuk?” tanya Jaya
“Memberhentikan pertikaian.”
“Gue cuma gak mau Jakarta penuh sama baliho politik.”
Jelita mengangguk lalu tersenyum simpul, “Saya bangga punya musuh seperti kamu Jaya.”
“Dan gue bangga sama seseorang yang bisa menaklukan hati musuhnya sendiri.”
Tiba-tiba bel masuk berdering, Jelita beranjak dari duduknya, beruntungnya bel itu menyelamatkan kegugupan Jelita. Ia akan segera ke kelas dan meninggalkan Jaya yang sedang tidak Jelita mengerti jalan pikirannya.
Ketika beranjak, tak mudah lolos begitu saja, Jaya menahan tangan Jelita untuk tetap tinggal.
“Gantian, gue yang ngajak lo bolos,” penahanan Jaya barusan membuat Jelita terjebak kembali di tempat ini.
“Gue suka sama lo.”
Marhaban ya ramadhan ya. Mohon maaf lahit batin.
Komen napa sih diem-diem bae:(((
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]
Ficção AdolescenteJelita menengadah, memandang langit tribun, "Jaya," masih dengan menengadah, Jaya menoleh. "Seharusnya suporter Persib Bandung dan Suporter Persija harus banyak belajar dari langit." Giliran Jaya menengadah mengikuti aliran mata perempuan itu lalu i...