keenambelas

691 60 9
                                    

“Ini gak akan berhasil Jaya. Kamu bakal kena marah ayah saya.”

“Lo lupa nama gue Jaya.”

Ya, namanya Jaya artinya selalu berhasil, orangnya tidak mau menerima penolakan. Keras kepala. Harus ya harus. Tapi ini mengenai izin ayahnya Jelita, yang sama-sama keras, tidak bisa dibantah. Mustahil. Ini tidak mungkin berhasil, bukan hal mudah.

“Tapi kamu manusia Jaya, ada saatnya kamu gagal, kamu bisa menyerah, apa yang kamu mau tidak bisa selalu kamu menangkan. Apa yang kamu ingini tidak bisa selalu kamu dapati, kalau semesta berkata tidak ya tidak Jaya, sekuat apa pun kamu berusaha.”

“Ya.. Kalo gagal dicoba lagi. Kalau gak dapet ya harus lebih keras berjuangnya, kalau semesta gak merestui ya tinggal yakinin aja. Jangan dibuat rumit lah Jelita, manusia lahir untuk berusaha. ”

Sudah beberapa kali diperingati masih tak mau berhenti, masih punya keyakinan yang tinggi kalau Jelita pasti bisa pergi ke Surabaya bersamanya lusa nanti.

Esoknya Jelita meminta maaf pada Jaya atas tragedi kena semprotan amarah dari ayahnya kemarin. Namun Jaya sama sekali tak mempersalahkan, tak merasa sedikit pun sakit hati, “Gak papa, anggap aja sebagian perjuangan.,” mendengar kalimat Jaya barusan, bola mata Jelita memutar, ingin rasanya menarik ucapan maaf tersebut.

Karena penolakan demi penolakan dari ayah Jelita sudah beberapa kali terlontar, maka tertutup rapatlah harapan Jelita untuk pergi ke Surabaya. Akhirnya Jaya tidak memaksakan kehendaknya, Jaya menerima keputusan ayah Jelita, meski tidak terasa menyenangkan.

Laga Persija versus Persibaya Surabaya semakin tipis, semakin dekat untuk digelar, sementara Jelita sedang uring-uringan di dalam kamar, memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa menyaksikan pertandingan itu dengan Jaya, ia mengidam-idamkan untuk duduk bersama ribuan Bonek memakai kostum Maung Bandung.

Kini malah Jelita yang berhasrat tinggi untuk ke Gelora Bung Tomo dibanding Jaya.

“Jaya saya ingin ke Surabaya,” ucapan itu terlontar ketika kelas sudah bubar.

“Lo di sini aja, izin orang tua lo lebih penting, gue gak mau lo mengkhawatirkan orang yang menyayangi lo."

"Jelita, cara menghargai orang yang sayang sama lo cukup dengan menerima keputusa mereka,” Jaya mengusap pucuk rambut Jelita, “Tunggu gue di Jakarta, Jakarta lebih sayang lo, Jakarta selalu menerima lo apa adanya.”

Jelita menggeleng, wajahnya memohon seperti anak kecil yang memaksa ingin dibelikan balon, “Tapi kamu perna bilang Jaya, saya pasti aman kalau sama kamu.”

Lesung pipt dari seorang dara yang memikat siapa pun hati pria itu tidak boleh disembunyikan, harus tetap ditunjukan oleh pemiliknya pada Jaya, senyum seperti bulan yang tak utuh itu tidak boleh memudar hanya karena dirinya tidak bisa ke Surabaya. Seorang Jaya yang sudah teramat menjatuhkan hatinya pada gadis Bandung itu tak bisa menolak keinginan Jelita, mereka memutuskan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya.

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang