kelimabelas

673 69 8
                                    

Di koran, di televisi, di warta-warta harian, di internet, di mulut ke mulut perihal-perihal gambar yang menyebar ajakan kedamaian, stop rasis, dan hal positif lainnya mengenai suporter klub Ibu Kota dan Kota kembang sudah tersebar luas.

Ajaibnya, beberapa suporter Persib Bandung menerima ajakan itu dengan baik. Mereka para Bobotoh juga menempel poster-poster menerima perdamaian di beberapa tempat di Bandung. Mereka sadar, kalau menyebar satu ujaran kebaikan berarti mereka telah menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang, dan bagaimana pun tidak ada yang lebih unggul di antara Maung Bandung dan Macan Kemayoran, keduanya sama, sama-sama untuk memajukan persepakbolaan Indonesia, sama-sama untuk menghibur penikmatnya.

Tak lupa, para sahabat-sahabat Jelita yang di Bandung juga ikut berpartisipasi menempelkan plakat-plakat itu. Walau bagaimana pun, ia harus ingat Jaya adalah awal dari semuanya bermula, ia otak di balik perdamaian ini. Hal-hal kecil yang Jaya lakukan ternyata berefek besar.

Tak dapat disangka, ia yang mempunyai dendam terhadap suporter Biru Barat justru ia yang kini malah sebaliknya melakukan pergerakan-pergerakan kebaikan.

Ah, sudah seminggu ia puasa bicara dengan Jaya, di sekolah pun Jelita tak bertegur sapa dengan Jaya, jika Jaya mencoba menyapa Jelita tak menghiraukan sama sekali, padahal ia tak perlu menyangkutpautkan apa pun dengan perasaan. Naif sekali.

Jelita mencoba membuka ponsel, melihat deretan chat dari Jaya, dua hari lalu Jaya mengirim pesan, tak Jelita balas, Jaya mengajaknya ke Surabaya. Mau apa? Pesan yang dkirim dua hari lalu baru dibalas sekarang.

Anteng menari-nari kan jari di layar ponsel ke bagian bawah, ada satu kolom chat dari Alan yang masih belum ia hapus, ia membaca-baca pesan terdahulu, batinnya menjadi tak karuan, banyak pesan-pesan manis yang Jelita rindukan. Sejak hubungannya berakhir, di situ Alan tidak pernah mengirimkan Jelita pesan, Alan benar-benar pergi, begitu cepat ia berjalan membelakangi Jelita, sementara ia tak menghiraukan Jelita yang masih terdiam di tempat itu, berjalan pun Jelita tak mampu.

Apa masih ada setitik perasaan kepada Jelita di benak Alan? Jika masih ada, mungkin Alan masih mengirimkannya pesan, masih sedia untuk bersua seperti dulu kala, bahkan saat sengaja bertatap mata pun, mereka tak saling menyapa— asing, Jelita memilih memalingkan wajahnya ke arah lain. Ah sudahlah, sepertinya Jelita harus mengahapus pesan-pesan ini, pesan ini cuma kepura-puraan semata, untuk apa ia masih menyimpannya, bukankah kata orang lain, jika seseorang disuruh pergi, maka bila ia masih menyayanginya ia akan tetap tinggal. Tidak akan ke mana-mana.

Tapi Alan tidak seperti itu, ia sudah pergi, sudah tak bisa diharap lagi, mungkin ia sudah menemukan kebahagiaanya yang baru, bukan yang baru tapi kebahagiannya yang murni, bisa saja dengan Jelita ia tak bahagia karena dulu didasari denga kepura-puraan.

Ternyata ajakan Jaya ke Surabaya tidak main-main, lusa nanti Jaya beserta rombongan Jakmania akan ke Surabaya. Semuanya sudah dipersiapkan termasuk tiket pertandingan Persija Jakarta versus Persebaya Surabaya, Jaya menyiapkan dua tiket, untuknya dan untuk perempuan berlesung pipit pujaanya yang masih belum membukakan pintu hantinya untuknya.

“Saya gak bisa,” jawabnya.

Jaya tak menyerah, apa pun alasannya Jaya akan berusaha membuat Jelita ikut dengannya ke Surabaya. Jika ibu dan ayahnya tidak mengizinkan maka Jaya akan turun tangan langsung ke orangtua Jelita, Jaya akan meyakinkan bahwa putri semata wayangnya akan aman jika bersamanya.

Kenapa sih Jaya nekat sekali ingin membawa Jelita? Mungkin jika ditanya pertanyaan seperti itu Jaya bakal menjawab Karena gue suka Jelita, pasti apa pun bakal terasa menyenangkan kalau terus berada di dekat orang yang gue suka.

Seraya mengantarkan Jelita pulang ke rumahnya sekalian Jaya berniat untuk menemui langsung kedua orangtua Jelita untuk meminta izin.

Sesungguhnya, Jelita ingin sekali ikut ke sana, ke Surabaya, tapi ia tak yakin dengan keputusan orangtuanya, di Bandung saja ia sudah dilarang, di Jakarta juga tak berani terang-terangan apalagi jauh-jauh ke Kota Pahlawan itu.

“Gini Om, Tante, saya mau bawa Jelita ke Surabaya.”

Semua yang di ruang tamu menegang, tatapan mata ayah Jelita menajam seperti ingin melahap habis Jaya, Jelita sendiri cemas akan nasib Jaya setelah ini, sementara Jaya masih berani melanjutkan niatntya, “Ke Stadion Gelora Bung Tomo.”

Jelita menghela nafasnya berat. Masih saja Jaya tak menyerah.

“Siapa namamu?” tanya Ayah Jelita yang tak bisa ditebak ekspresinya.

“Jaya Laska.”

“Sampai kapan pun, saya tidak akan mengizinkan anak saya berpergian jauh bersama sama kamu. Apalagi cuma untuk menonton bola. Saya tahu, anak seperti kamu di sana cuma ribut-ribut buat kegaduhan tidak jelas! Memalukan saja! Kalau anak saya kena bahaya di sana? Mau tanggung jawab kamu?! Sudah pulang sana, belajar kamu yang betul, kecil-kecil jangan jadi anarki,” tegas ayah Jelita, ibunya Jelita mengusap-usap punggung suaminya agar amarahnya tidak semakin meluap.

Sudah tertebak pasti ayah akan emosi jika mendengar bola. Jelita merasa tak enak Jaya dinilai tidak baik oleh ayah, ia berusaha membela Jaya, “Yah, Jaya bukan suporter yang seperti ayah pikirkan atuh. Dia teh baik, kemarin aja dia nyebar-nyebarin poster supaya Bobotoh sama TheJak damai. Ayah boleh ngelarang Eneng buat pergi ke Surabaya, tapi Ayah teh jangan hardik Jaya sembarangan.”

“Kamu sudah berani melawan, ya?! Jangan-jangan otak kamu sudah dicemari dia!!!”

Jelita diperintah ke kamar dan Jaya diperintah ke luar.

Sebelumnya Jelita sudah memperingati Jaya bahwa ini bakal sia-sia, orangtuanya pasti menolak. Tapi, optimisme Jaya tetap menggebu tak bisa diredam.

Ayodong komen biar semangat up nya

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang