Pertama

1.1K 116 41
                                    


Jelita Anantiya gadis manis berlesung pipit berusia 17 tahun kelahiran Bandung yang sudah teramat sangat mencintai kota kelahirannya kini dipaksa pindah meninggalkan Kota Kembang oleh kedua orangtuanya. Sempat menolak, tak bisa, tak berhasil, keputusan ibunya Lestari dan ayahnya Yanto sudah bulat, nenek Marlinah pun mendukung demi kebaikan cucuknya. Jadi tidak boleh dibantah.

“Yah...Jelita janji enggak akan ke stadion lagi.”

“Sudah tiga kali janji, sudah tiga kali ingkar, dan ini yang keempat. Jangan membantah,” tegas ayahnya tak dapat digugat

“Yah.. tapi atuh da Neng teh gak bisa ninggalin nenek,” tak henti-hentinya ia merengek mencari alasan agar dirinya tetap tinggal di kota kembang ini.

“Gak papa atuh Neng geulis, nenek mah sama Bi Siti,” ucap Nenek yang tidak membela sama sekali cucuknya itu. Marlinah setuju jika kedua anaknya membawa cucuknya selagi itu demi kebaikan cucuknya sendiri.

Jelita adalah seorang suporter yang loyal. Tidak perlu dipertanyakan lagi  klub mana yang ia dukung yaitu Persib Bandung, klub besar yang terbentuk sejak 14 Maret 1933. Akibat kecintaan Jelita pada klub sepak bola terbesar di Bandung itu, ia tidak diperbolehkan pergi ke stadion. Ayah, ibu dan nenek sebetulnya tidak mempersoalkan Jelita sebagai seorang suporter. Tapi, kefanatikan Jelita adalah perkara, gadis manis itu tidak mau terlewat menonton langsung di stadion tiap kali tim yang dijuluki ‘Maung Bandung' berlaga di kandang. Yang tidak bisa diterima oleh ketiga orangtuanya adalah mereka mengkhawatirkan Jelita yang selalu pulang larut malam.

Berkemas ia meninggalkan Bandung, menyimpan segala cerita yang sudah terkumpul di kota itu. Pamit pada nenek yang sudah mengurusnya sewaktu ia kecil sampai sekarang, Yanto dan Lestari tidak tinggal bersama sejak kecil dengan putrinya itu, ia lebih banyak berpindah-pindah rumah saat Jelita kecil, lantaran pekerjaan, dan saat putri sulungnya sudah beranjak besar mereka berdua memutuskan untuk menetap di ibu kota.

Air mata di antara keduanya muncul entah dari Marlinah entah dari Jelita, berpisah dengan yang terkasih bukan keinginan setiap orang tapi demi kebaikan dari sebuah rencana.

Tak lupa pula Jelita pamit kepada ketiga sahabatnya: Raini, Adit, dan Dera lewat Video call yang disambunng dengan keempatnya. Mereka adalah salah satu pewarna kehidupan Jelita di Bandung ini.

“Jadi kemarin kita terakhir nyetadion bareng atuh,Ta?”

“Bukan terakhir. Dijeda dulu. Moal di Jakarta terus atuh,Rain, aku teh.”

“Hati-hati di sana. Banyak TheJak,” celetuk Adit.

“Masih zaman ikut-ikutan rivalitas?” bantah Jelita.

Tah dengekeun!

Persahabatan mereka terjalin sudah satu setengah tahun, dari pertama masuk sekolah menengah atas, mereka mempunyai hobi yang sama. Mulanya saat Persib akan berlaga, Jelita tidak akan ikut ajakan ketiga temannya pergi ke stadion Gelora Bandung Lautan Api yang terletak di Gede Bage Bandung, ia sadar sudah berjanji ke orangtuanya untuk tidak pergi lagi. Jika pergi lagi, Jelita harus menerima konsekuensi untuk tinggal bersama ayah dan ibunya ke Jakarta.

Ujungnya ia beralih ke ibu kota, mau tidak mau harus dijalani, harus diiyakan, karena telah melanggar perjanjian yang sudah ditetapkan. Perbincangan lewat video call bersama ke empat sahabatnya sudah ditutup dan berakhir.

Benar juga apa yang diucapkan Adit barusan, di Jakarta sana banyak suporter Persija atau yang terkenal dijuluki dengan Jakmania. Kedua kubu suporter Jakarta dan Bandung tersohor dengan kerivallanya. Apakah Jelita harus berhati-hati bila tinggal di sana? Jelita rasa tidak perlu. Ia tak takut. Mereka yang masih menganggap rivalitas juga tak akan mengenal identitas Jelita.

Lagipula ini Indonesia, bebas dong mau menyuporteri tim mana saja. Kedua tim juga tujuannya untuk mengharumkan nama negara sendiri. Kenapa mesti berselisih?

Jelita bukan termasuk suporter rasis, ia mencintai sepak bola tapi tidak dengan pertikainya. Kewajibanya hanya mendukung tak lebih dan tak kurang, seperti yang diucapkan Abahnya dulu.

“Abah apa ada yang salah dari perempuan yang mencintai bola?”

Abah tersenyum kepada cucuk perempuanya yang baru menginjak usia sepuluh tahun itu, dipandanginya lekat-lekat, “Tuhan pernah melarang tidak?”

Gadis mungil itu menggeleng. “Bah, Neng suka nonton bola. Kaya Abah.”

“Bagus.”
“Tapi tadi kata temen, Neng gak boleh suka bola. Neng perempuan.”

Abah mengusap pucuk rambut cucuknya, “Gak ada yang salah, Neng. Perempuan boleh suka nonton bola, boleh ngedukung. Tapi, jangan sampai berlebihan, tugas Eneng mendukung dan menikmati.”

“Kalau laki-laki boleh berlebihan?”

“Setiap manusia gak boleh mencintai sesuatu berlebihan, Neng.”

Lengkungan tercetak di bibir gadis mungil itu. “Hore... Berarti Neng boleh dong suka nonton bola, asal gak berlebihan kata Abah,” ucapnya girang.

Kenangan tujuh tahun lalu bersama Abah masih jelas diingatan, Abah akan selalu terkenang, Abah banyak mengajari sesuatu tentang hidup. Takdir berkata laim, empat tahun lalu, Abah pergi dari dunia, nenek Marlinah sebagai seorang istri begitu terpukul juga ayah, ibu dan Jelita sendiri. Dari beliau, Jelita jadi suka nonton bola, kadang kala jika ada yang bertanya mengapa Jelita bisa mencintai bola, ia menjawab “Warisan dari Abah.”
***

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang