RAMBUT

487 41 12
                                    

Setelah kemarin ditunjuk untuk mengikuti lomba pidato, nggak ada yang berubah. Semua masih sama. Gue masih jadi gue, Solatip masih jadi Solatip dan Silena masih dijodoh-jodohin sama Deno. Kita nggak tahu yang sebenarnya, namun Deno dan Silena sering banget ketahuan lagi bicara berdua. Temen-temen lain baru menyadari saat kelas dua belas. Sedangkan gue sudah sadar dari kelas sebelas. Hm ... gue peka, kan?

Gue menuju ke tempat duduk Ayu dan Sinta. Mereka tengah bermain sesuatu dengan Aryo, Bagasa, dan Tepon.

Gue semakin mendekat. Tepon melihat gue yang sedang memperhatikan mereka, kemudian mengalihkan pandangan.

Dih santet juga nih orang lama-lama batin gue, cuma di batin. Kalau ngomong langsung bisa-bisa gue dimutilasi. Ok alay.

Gue berusaha buat melihat mereka yang ternyata sedang bermain Ludo King. Sesungguhnya gue nggak bisa dan nggak paham gimana mainnya. Jadi gue mau tanya.

"Eh, ludo mainnya gimana sih?" tanya gue sambil berdiri meperhatikan mereka.

"Alah brisik, Warmed!" ucap Aryo lalu menghalangi pandangan gue dengan cara berdiri di depan gue, sehingga pandangan pun tertutup punggung dia.

Gue nggak mau kalah, gue pergi ke sisi lain, kemudian Tepon dengan cepat meniru pergerakan Aryo. Akankah perang dimulai?

"Minggir Tepon!" teriak gue sambil menggeplak lengan Tepon. Yang digeplak tak bergeming.

Kepala gue miring-miringkan mencari celah untuk melihat sang ludo. Demi ludo. Kemudian Bagasa datang, dengan tubuh tingginya, diq menghalangi pandangan gue lagi. Kemudian gue lihat Ayu dan Sinta ketawa melihat gue yang 'di-bully' seperti itu.

"Dih minggir dong! Gue ikut main!" teriak gue berusaha menerobos Bagasa.

"Idih, idih ini bocah ngapain ya!" Bagasa sok merasa aneh dengan kelakuan gue.

Tepon menarik HP ketika gue hendak menyentuhnya. "Nggak! Nggak bisa! pergi sana."

"Hahaaha!" kemudian mereka tertawa.

"Anjir gue mau main woy!"

"Nggak usah bego! Pergi sana!" kata Bagasa menyenggol tubuh gue, seketika gue terhuyung.

"Dih anak setan!"


K

arena diusir, gue memilih pergi bersama Pawina, Miya, Istin, dan Kay. Kami berjalan ke kantin dengan cara berjejer, seakan menutup jalan.

Di jam ini, kantin dan area koridor sepi, siswa lain tengah mengikuti pelajaran kecuali siswa ndableg yang justru pergi ke warung mbok Sohar untuk mengisi perut atau sekadar nongkrong—kami akan ke kantin bukan ke mbok Sohar berarti kami bukan siswa ndableg ya—tidak sedikit pula yang merokok dengan senangnya, karena area warung mbok Sohar yang lumayan jauh dari sekolah, membuat mereka tak khawatir barangkali akan ada razia. Lalu mereka kembali ke sekolah seperti biasa lewat area barat, yaitu area kelas XI.

Di sana terdapat tembok setinggi dua meter, dengan dibantu meja atau kursi mereka melompati pagar dua meter tersebut. Biarpun sudah ada kamera CCTV, namun tetap saja mereka minggat. Tidak ada gunanya CCTV di sana. Mending gue bawa pulang.

"Woy lu beli apaan Sa?" gue menoleh ke arah Pawina.

"Bakso aja Paw, tiga ribu. Kalo lo yang bayarin ya beli lima ribu, satenya dua ribu," jawab gue.

Gue cuma beli tiga ribu karena emang gue lagi bokek. Selain itu juga tiga ribu udah kenyang banget soalnya gue kalau beli bakso kuahnya dua kali lipat dari orang biasa, makannya gue jadi luarbiasa gini.

My Class My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang