TRAGEDI SENI BUDAYA

206 14 14
                                    

Ini kejadian di bulan Februari-Maret, 2018.

Sebenarnya gue sudah beberapa minggu pulang-pergi sekolah boncengan dengan temen cowok, bukan temen tapi masih keluarga. Dia itu cucu dari bibi ibu gue, jadi masih satu keluarga.

Karena gue bonceng dia, gue jadi nggak bareng dengan Hanni dan Sita, tapi akhirnya bareng lagi. Hanni sudah berani mengendarai motor ke sekolah, sedangkan Sita membonceng.
Sebelum berangkat, Sita ke rumah gue dulu, biar bareng. Dia masuk ke rumah pas gue akan keluar. Gue sudah pakai seragam dengan rapih dan wangi.

"Sa, pinjem celana OR dong, tadi gue hampir jatoh sama Hanni," ucap Sita ke gue.

Celana OR itu celana Olah Raga. Kita menyebutnya OR, biar cepat. Nggak tahu kalau orang kota menyebutnya apa.

Gue yang sudah siap keluar ini akhirnya masuk ke kamar lagi, lalu berjalan mendekati Sita sambil membawa celana biru dongker itu.

"Kok bisa hampir jatuh?" tanya gue sambil memberikan celana itu.

"Hanni salah milih jalan, oneng emang!"

Oh, gitu. Jadi Sita meminjam celana untuk dipakai, terus memboncengnya itu kayak cowok. Dengan begitu, Hanni jadi tidak kesusahan.

Gue dan Acep—saudara gue itu—di depan, Hanni dan Siti di belakang. "Jangan cepet-cepet," ucap gue ke Acep.

"Lah emang pernah cepet, ya?" tanya dia. Tapi emang dia nggak pernah ngebut pas bawa motor.

"Ya ngimbangin Hanni aja, biar bareng."

"Itu Hanni anu ketinggalan mobil apa gimana?"

"Ya nggak. Emang mau bawa motor."

Akhirnya kami yang di depan melaju dengan pelan. Masih pelan ... pelan ... pelan banget, bangke! Hanni kayak siput hamil tahu nggak?! Lambatnya kebangetan. Spidometer kayaknya menunjukkan angka dua puluh. Sampai di tanjakan atas rumah temen gue yang ada di desa sebelah tuh kayak mau nggak kuat. Di situlah si Hanni baru terlihat.

Gue berkali-kali menengok ke belakang, takut aja gitu, kan ini pertama kalinya Hanni bawa motor ke sekolah.

Sampai di sekolah, gue menaruh tas di kelas gue sendiri, Hanni dan Sita duduk menghadap gedung kelas sebelas yang ada di depan, lebih tepatnya di ujung lapangan.

Di sana nggak cuma Hanni dan Sita, tapi juga ada Silena dan Lilin. Gue ikut ke sana, daripada duduk di kelas, males. Sesampainya di sana, betapa shock-nya gue, mereka berempat pilek berjamaah. Nggak, nggak ingusan nggak, cuma pada pakai tisu dicium-ciumin gitu, jijik, ciumin tisu. kayak nggak ada cowok lagi. Ada noh, Eko anak IPS 2, haha bercanda.

Pelajaran demi pelajaran dilewati, hingga tibalah pelajaran Seni Budaya. Anak-anak sini biasanya menyebut pelajaran Seni Budaya dengan sebutan SBD, biar simple, katanya.

Guru Seni Budaya ini orangnya baik banget. Tidak ada teori, adanya praktek. Jadi beliau masuk kelas nggak tahu menjelaskan apa—satu kelas nggak tahu beliau bahas apa—soalnya yang dibicarakan ngalor-ngidul ora genah. Paling beliau menyuruh kami untuk melakukan sesuatu—misal menggambar—lalu beliau duduk di kursi guru, kemudian kami para murid ke sana ke mari mengerjakan tugas itu. Boleh mendengarkan musik. Enak, kan? Ooo ya jelas!

Nah, kali ini murid disuruh membawa kaleng. Kaleng tersebut nantinya akan dibuat menjadi lukisan timbul. Jadi nanti kalengnya dipotong, diambil bagian badannya saja, lalu dipola, setelah itu goreskan benda agak tumpul tapi kecil mengikuti pola. Bisa pakai sendok, kunci motor atau mobil—kalau punya—pakai paku juga bisa. Tapi itu NANTI.

Kami diabsen satu persatu dahulu, sambil menunjukkan kalengnya. Giliran nama gue dipanggil, gue menunjukkan kaleng yang sudah gue bawa dari rumah.

Kemudian semua ketawa.

"Mikasa, lo bawa apaan dah?" Aryo ketawa.

"Masa dia bawa kaleng susu bendera!" kali ini yang ketawa adalah Bagasa. Mereka tertawa karena gue membawa kaleng susu, yang katanya susu tapi ternyata krimer(?)

Yang lain ikut ketawa karena gue oon pakai banget. Guru gue juga ketawa.

"Saya bawanya ini Pak, nggak pa-pa, kan? Lha wong saya anu nggak tahu."

Guru gue terkekeh kecil. "Ya nggak pa-pa, cuma agak susah. Butuh tenaga ekstra," jelas guru itu.

Aryo yang ada di seberang gue, berkata. "Sa, lo bawa berapa? Liat coba."

"Bawa tiga."

"Anjir hahaha!"

Aryo, Bagasa, Tepon, dan Soyan ketawa ngakak. Apa yang membuat mereka tertawa? Karena gue sudah salah bawa, bawa banyak pula!

Padahal niat gue baik. Kalau ada yang butuh, bisa pakai punya gue. So sad emang.

Aryo menatap kaleng susu itu sambil ketawa, lalu Bagasa merebutnya.

Aryo ngomong gini. "Bawa kok kaleng susu gini. Otak di mana ...."

"Bocah stres dia! Dasar kalkulator!"

Gue denger sih, mereka ngomong apa. Tapi gue nggak mau nyahut. Malu, sekelas ngetawain soalnya, hehehe.


🍚🍚🍚

Lama ya, nggak update, nggak ada kuota soalnya hehe.
Semoga kalian suka ya, ini satu persatu mulai tak revisi biar lebih enak dibaca.

Oh iya, part ini masih panjang lho ...!!

Rekomendasikan teman untuk baca work ini ya 😆

Tresno

Xanderstern💚

My Class My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang