KOPLAK EMANG

333 29 8
                                    

Nggak sampai sepuluh menit kami sampai di puskesmas dekat sekolah. Sebenarnya tidak dekat banget, tapi paling dekat ya itu. Selain itu di dekat sekolah ada dokter, tapi tidak melayani rawat inap, lagi pula biasanya kalau ada yang dirujuk, ya rujuknya ke puskesmas.

Gue dan lainnya berkumpul dulu di depan puskesmas, menunggu semuanya sampai kecuali anak cowok, Simi, Silena, dan Nella itu. Mereka menyusul saja nanti.

Kemudian kami masuk ke puskesmas, berdiri di depan ruangan Bu Emiliy. Ini kali pertama gue masuk ke dalam puskesmas di daerah situ. Asal kalian tahu, sekolah gue itu berada di dataran tinggi, jauh dari pusat kota. Nah, desa gue juga di dataran tinggi, tapi lebih dekat dengan pusat kota. Jadi gue nggak tahu apa-apa tentang daerah sekolah gue, hanya gue yang nggak tahu apa-apa. Sedangkan temen-temen seakan tahu segalanya.

Sementara menunggu giliran menjenguk sang wali kelas, gue mutar-mutar daerah situ, di dalem puskesmas maksudnya. Lihat ruangan sebelah, ruangan bersalin, kolam ikan, mengintip dari jauh orang lahiran—aslinya mah nggak kelihatan—dan duduk di atas pagar.

Jadi di depan ruangan Bu Emil ada semacam selokan, nah di buat pagar untuk menutupi sekolakan, setinggi sekitar 100 cm lebih. Gue duduk di situ, tapi nggak jadi soalnya gue nggak bisa naiknya.

Tibalah saatnya gue, Kay, dan Isyu masuk ke dalam, betapa terkejutnya hati hamba seorang calon istri Taehyung kala melihat ruangan yang berisikan tiga kasur. Bukannya gue sok kota ya, gue biasanya ke rumah sakit yang ada di pusat kota, bukan puskesmas kecamatan. Rumah sakit di pusat kota tentu pelayanannya lebih baik.

Di puskesmas itu ada tiga kasur dengan ruangan yang minimalis. Gue heran, kenapa nggak milih kamar yang VIP saja. Masalahnya, kalau seperti ini tampak pengap dan sama sekali tidak nyaman untuk pasien—menurut gue—sudah gitu bau aneh yang nggak jelas. FYI gue orangnya jijikan.

Bu Afi yang melihat kedatangan gue dan konco-konco kemudian menyeletuk. "Aduh ini Bu, ana anak wadon pada njenguk." Gitu kira-kira yang jika diartikan berarti 'aduh ini Bu, ada anak putri-putrimu menjenguk'.

Gue, Kay, dan Isyu bersalaman dengan Bu Emil, di situ hidung gue merasa ada bau-bau bawang eh bau balsam. Tapi tidak apa-apa kalau itu membuat Bu Emil sembuh. Hanya bersalaman dan mengucapkan ucapan lekas sembuh, kemudian kami keluar ruangan karena Bu Emil butuh istirahat yang cukup.

Ketika keluar, gue lihat Simi dan panutannya masuk lewat pintu IGD yang sedari tadi padahal sudah ditutup. Katanya, awalnya Simi dan kawan-kawan tidak diperbolehkan masuk lewat pintu biasa dikarenakan jam besuk telah usai—kami masih di sini karena terjebak hujan— kemudian entah karena apa mereka bisa masuk lewat pintu IGD.

Ruangan Bu Emil dan IGD tidak jauh, hanya beberapa langkah di depan. Jarak antara ruangan Bu Emil dan IGD beratapkan seng. Kalian tahu seng? itu loh yang kayak asbes tapi brisik kalau misal kena bunyi, kalau panas terik bisa-bisa suhu ruangan menjadi sangat panas. Terserah kalian paham atau tidak karena itulah bahasa kami, gue nggak mau pusing-pusing hanya karena kalian nggak paham bahasa gue.

Atap seng itu kalau terkena hujan otomatis menimbulkan bunyi, berhubung hujannya deras banget alhasil membuat suasana semakin mencekam. Berisik banget sampai suara orang saja nggak kedengeran, atau emang budek, ya? Nggak. Emang suaranya tersamarkan, kok.

Kegabutan yang hakiki melanda kehidupan gue kala itu, ketika hendak duduk di depan ruangan sebelah, gue lihat Ayu, Astor, Deno, dan Rafij mereka sedang menertawakan sesuatu yang ada di dalam ruangan sebelah. Mereka bikin penasaran, kemudian Ayu mengayunkan tangan menyuruh gue untuk mendekat. Gue mendekat dan melihat apa yang mereka tunjuk sehingga tertawa.

Tawa.

Satu hal yang gue lakukan pada saat itu. Gimana anak laki-laki nggak pada ketawa kalau lihat sesuatu yang bagi mereka adalah kenikmatan. Di sana ada dua cewek seumuran kami—mungkin—tapi body-nya lebih wow. Pakaian mereka biasa saja, tapi posisinya itu. Mereka tengurap berdua di ranjang puskesmas, rambut hitamnya digerai sambil mainan ponsel yang sedang di-charge di situ. Karena mereka berdua tengkurap dan memakai celana pensil yang ketat, yah you know lah ... anak cowok kesenangan lihatnya.

My Class My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang