MATEMATIKA PART 2

246 11 13
                                    

Masih tentang matematika, pelajaran yang sangat-sangat gue benci. Benci banget deh pokoknya. Walaupun benci, tapi gue sadar, gue masih membutuhkan matematika. Gue harus bisa matematika karena sampai UNBK nanti, masih akan bertemu dengan matematika.

By the way, UNBK nanti untuk mapel kejuruan, gue bakal ambil geografi. Belum terlalu yakin untuk benar-benar milih geografi, tapi dipikir-pikir geografi boleh juga. Nah, sebelum UNBK berlangsung pasti ada ulangan semacam UAS, dan konco-konconya kan? Dan hal itu terjadi pada hari ini.

ULANGAN MATEMATIKA.

Percayalah, tadi pukul tiga dini hari gue sudah bangun hanya untuk belajar matematika. Rasanya susah banget bangun jam segitu cuma buat belajar. Kalau buat mainan hp, bangun jam berapa saja, selalu ready. Tapi kalau belajar begini hmm rasanya ingin membanting hp yang tadi membunyikan alarm.

Dini hari itu gue belajar materi untuk ulangan, hanya satu materi tapi gue nggak paham. Ok sebenarnya paham—nggak tahu nanti pas lihat soal—dan mungkin bagi kalian mudah. Gue coba mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket, LKS, dan membuat soal sendiri dengan angka yang kecil—tentunya agar lebih mudah dihitung.

"Ulangan ya, sekarang," ucap Bu Hildina lantang sambil tebar senyum. Sebenarnya senyumnya manis tapi bagi gue itu senyum menyebalkan.

"Haaaaaaaaaaaaa!!" teriak kami satu kelas. Drama sekali, kan? Memang. Gue rasa di kelas kalian juga mungkin sama dramanya dengan di sini.

"Ulangan apa ya, Bu?" tanya Bagasa sok amnesia.

"Ya matematika Gas, kan Bu Hildina guru matema—"

"Perhatian! Perhatian untuk para siswa yang tidak mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasila harap berkumpul di lapangan basket sekarang! Se-ka-rang! Jangan lari dari hukuman, nama kalian sudah dicatat! Cepat!"

Mampus.

Satu kata yang gue ucap dalam hati. Mampus emang mampus buat diri gue dan beberapa teman lain. Teman-teman lain seperti Pawina, Miya, Solatip, Nela, dan anak-anak cowok tampak grusa-grusu karena tiba-tiba disuruh upacara bendera sebagai hukuman. Ini di luar perkiraan gue. Gue kira tidak akan ada hukuman seperti yang sudah-sudah, ternyata salah.

"Nah itu! Ayo, Bagasa, Aryo! Sana kalian upacara dulu. Ulangannya menyusul," ucap Bu Hildina.

Gue menoleh pada Kay yang sedang senyum-senyum bahagia karena dirinya tidak ikut upacara tapi tidak dihukum lantaran ada surat yang menyatakan bahwa dirinya sakit. Dia tersenyum di atas penderataan gue. Awas, pulang sekolah gue belajar ilmu santet!

"Lah, Mikasa kamu dihukum juga?" tanya guru matematika itu agak kaget karena gue dihukum. Mungkin di pikiran Bu Hildina, siswi culun kayak gue gini mana mungkin melanggar peraturan. Hmm beliau salah menilai diriku. Aku jadi sedih.

Karena Pak Marlo—yang memberi pengumuman—lagi-lagi mengumumkan kami untuk segera sampai di sana, mau tak mau kami agak sedikit berlari menuju lapangan basket. Awalnya gue pikir nggak bakal muat karena lapangan basket hanya segitu. Namun, ternyata muat, padahal yang dihukum ada banyak. Mereka berasal dari kelas dua belas sampai kelas sepuluh. Sungguh hal yang tidak patut ditiru. Jangan ditiru, ya!

Gue baris di barisan paling depan. Kalai ada upacara seperti ini memang sukanya baris di depan, agar bisa melihat pemandangan—walaupun pemandangannya itu-itu saja. Yah, namanya juga orang pendek. Kalau barisnya di belakang, nanti hanya akan melihat punggung teman-teman yang jauh lebih tinggi. Belum lagi kerudung putih mereka bisa membuat gue pusing.

Upacara berlangsung seperti biasa, yaitu tidak mengenakkan. Panasnya matahari siang ini juga membuat beberapa peserta pingsan. Gue sempat berpikir untuk pingsan saja agar bisa leyeh-leyeh di UKS. Agar bisa merasakan tiduran di tandu lalu digotong. Kayaknya enak, haha. Tapi hal itu tidak jadi gue lakukan karena memerlukan akting yang mumpuni.

Gue orangnya gampang ketawa, bayangkan aja pas sok-sok pusing, jatuh, lalu ditaruh di tandu. Pas ditaruh di tandu pasti peserta upacara pada fokus ke gue, dan pasti—lagi—gue bakal ketawa karena jadi pusat perhatian. Daripada ketika akting malah ketawa, jadi mendingan tidak usah ada acara drama segala.

Dari awal sudah gue duga yang menjadi pembina ucapara pasti Pak Marlo, dan itu benar. Beliau berbicara panjang lebar tanpa memikirkan kami yang tersengat panas matahari. Pak Marlo dan paduan suara sih enak karena adem ayem berdiri di sana. Lha kalo kami? Ya sudah lah, salah kami juga melanggar aturan.

"Kalian jadi siswa itu tidak usah aneh-aneh. Tidak usah ada acara pergi dari upacara. Tidak usah minggat-minggat! Saya tahu kok siapa yang suka minggat," ucap Pak Marlo seraya tertawa kecil dan melihat ke arah anak-anak yang sering minggat. Anak-anak seperti Bagasa, Aryo dan kawan-kawan tentu saja tersindir. Mereka menundukkan kepala, menahan tawa.

"Apa susahnya tinggal patuhi aturan. Saya tahu titik-titik yang sering menjadi "gerbang terlarang". Ada di sana." Pak Marlo menunjuk pintu kecil yang langsung menghubungkan dengan rumah beserta kost putri miliknya. "Di belakang kelas sebelas IPA, belakang ruangan hijau milik KIR, WC kelas sepuluh, dan belakang kelas sepuluh."

Pak Marlo tahu, pantas saja di sekitaran kelas sebelas ditinggikan lagi temboknya. Membuat—mantan—kelas gue yaitu sebelas IPS empat yang tadinya penuh dengan cahaya sekarang gelap gempita.

"Di belakang kelas sepuluh itu lho, duh Gusti. Di sana ada kursi yang kayaknya menjadi pijakan setelah kalian lompat pagar, mengingat tembok itu tinggi. Padahal ya, Bocah, dengar! Padahal kursi itu sudah saya kembalikan ke kelas, tapi ada lagi, ada lagi. Sampai pusing saya." Pak Marlo memijit pelipisnya. Beliau berpidato tidak dengan serius, melainkan tertawa kecil. Beliau memang termasuk guru yang easy going.

"Terakhir kemarin saya buang kursinya. Dan ternyata ada yang lompat pagar tapi kepleset di sana." Tawa menggelegar terdengar di lapangan basket. "Iya, bener. Saya lihat ada bekas sepatu kepleset panjaaaaang banget. SUKURIN! JADI BOCAH KOK YO NAKAL BANGET KOE-KOE PADA!" Bukannya takut, para siswa justru tertawa lagi. Pak Marlo menunjukkan ekspresi seperti depresi lantaran anak-anaknya sangat bandel.

Setelah pidato Pak Marlo selesai, upacara masih berlanjut seperti seharusnya, lalu selesai setelah dibubarkan oleh pemimpin upacara. Kalau tidak salah pemimpinnya adalah Ketua OSIS.

Gue dan kawan-kawan kembali ke kelas, gue lihat teman lain yang tidak dihukum sedang duduk di kelas, sementara Bu Hildina sudah tidak. Ternyata ini sudah memasuki jam istirahat. Lalu ulangannya kapan?? Minggu depan! Jadi masih harus belajar lagi. Itu berarti gue harus bangun pagi-pagi untuk belajar lagi! Entahlah harus bersyukur atau menangis-nangis ria.

Kay mendekat ke arah gue lalu berkata, "Sa, ulangannya bikin mumet. Mampus lo."

Mampus gue.

🍭🍭🍭

Sebenarnya aku udah bingung mau tak isi dengan cerita yang kayak gimana soalnya aku udah mulai lupa kejadian-kejadian di kelas. Namun, aku masih ingin membuat cerita ini miliki banyak chapter.
Aku pelupa. Ah, dasar aku!

Love

Xanderstern💚

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Class My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang