MATEMATIKA PART 1

217 13 3
                                    

Nama gue Mikasa, sudah pada tahu, kan? Nah itu bukan nama asli gue. Ya nggak ada yang tanya juga. Ok gue cuma mau ngasih tahu kalau gue nggak suka sama yang namanya "MATEMATIKA".

Gue justru heran sama manusia-manusia yang suka banget dengan matematika. Isinya hitung, hitung, dan hitung. Mencari X dan Y dari zaman baheula sampai zaman penuh cahaya seperti sekarang. Memangnya mereka nggak capek cari X dan Y? Kalau kita yang cari terus, kapan Matematika bisa mandiri?!

Sudahlah matematika, ikhlaskan saja kenapa sih? Jodoh nggak akan ke mana juga.

Ah kesel gue jadinya.

Udah gue nggak suka matematika, eh temen sebangku gue, si Kay malah suka banget dengan yang namanya matematika. Cewek berkacamata biru itu kalau ada pengisian biodata, dia ngisi kolom hobi dengan "menghitung".

Wth Guys!

Yang namanya hobi adalah sesuatu yang dilakukan di waktu senggang. Jadi maksudnya kalau dia lagi duduk di rumah, nggak ada kerjaan, dia mengerjakan hobinya yaitu menghitung, begitu?

Ya Allah mendingan lo jadi babu gue aja di rumah, daripada cuma menghitung, Kay!

Saking tidak sukanya gue sama matematika, sampai-sampai gue cuma dapet nilai lima aja udah seneng pakai banget. Walaupun tetap saja remedial. Tapi asli, saat ulangan matematika, gue nggak suka nyontek. Soalnya percuma. Nggak ada jawabannya.

Ketika pelajaran matematika berlangsung, gue mendengarkan dengan seksama-tapi boong-karena gue duduk di depan jadi lebih banyak diam terlebih ketika matematika karena takut disuruh maju. Hehehe.

Eh kembali lagi ke cerita, gue duduk di depan.
TEPAT DI DEPAN PAPAN TULIS, GUYS!

Gue duduk di situ gara-gara si Kay yang milih. Ya sudah lupakan.

Guru matematika gue di kelas XII IPS 4 tercinta ini adalah Bu Hildina. Kalau kalian lihat guru itu, uh langsung jatuh cinta. Body-nyaa uwaaahhhh kecil. Tingginya waaaaaw nggak beda jauh sama gue, hehe. Bu Hildina ini punya postur tubuh seperti anak SMA. Kayak kami gini. Belum lagi wajahnya yang memang cantik, masih muda lagi. Udah nikah tapi sih, umur 25 tahun kalau nggak salah, gue nggak pernah wawancara. Pokoknya pas Bu Hildina lulus SMA, belum umur 17 tahun, kayak gue 😌.

Oke kembali lagi ke pelajaran matematika.

Guru menjelaskan dengan detil ini dan itu, dijabarkan dengan sangat jelas. Awalnya paham dong. Paham sih paham ya, tapi ketika ditanya, "Siapa yang nggak paham?"

Hening.

Ketika ditanya, "Siapa yang mau tanya?"

Hening.

Ketika ditanya, "Siapa yang paham?"

Hening.

KELAS GUE MAUNYA APA SIH?!

Mau paham atau nggak mereka tetap saja diam.

Kemudian Bu Hildina langsung memberikan soal. Iya, soalnya sih cuma satu. Tapi, anaknya itu bisa sampai sepuluh. 1-A sampai 1-I. Tapi biasanya anaknya paling lima, tapi tetap saja banyak.

Kalau sudah disuruh jawab, gue bolak-balik buku catatan aja, nyari rumus, baca contoh soal yang malah bikin gue mumet karena gue nggak ngerti hasil ini dari mana, hasil itu dari mana dan kenapa tiba-tiba hasilnya bisa segini?

Gue coba-coba mengerjakan aja, gengsi lah kalau nggak, orang Aryo sama Bagasa aja sedang nulis. Tapi gue curiga mereka lagi gambar Naruto atau menggambar mobil kayak yang ada di sampul buku tulis Sejarahnya Bagasa yang waktu itu ketahuan oleh gue.

Ketika gue mengerjakan soal nomor satu, Kay udah sampai nomor tiga. Otak orang emang beda-beda ya. Sama Kay aja gue heran, apalagi sama Alfabeta si anak IPA yang selalu jadi paralel pertama coba? Dulu, pas kelas sepuluh belum ada penjurusan, si Alfabeta ini juga pararlel pertama. Otak oh otak.

Gue mengerjakan matematika dengan tidak diam. Gue lihat ke kanan dan kiri, eh nggak ke kanan, kan kanannya gue si Aryo. Gue menoleh ke balakang mau lihat Miya, eh dia mainan hape. Yah kalau gue udah mentok gini, mendingan nyontek Kay aja. Bukan nyontek sih, tetap mengerjakan, kalau sudah selesai, gue kasih ke Kay untuk dicocokkan, bener atau salah.

Akhirnya gue udah selesai nomor satu, Kay leyeh-leyeh. Nggak leyeh-leyeh juga, banyak yang pada ke meja Kay buat nanya ini dan itu, sebenarnya nggak banyak. Cuma gue, Afe, Simi, Lina, Astor, dan yah paling segitu, kalau cowoknya paling Soyan atau L.

Bu Hildina sering mondar-mandir untuk membantu anak yang kesusahan dalam menghitung soal yang diberinya. Tapi, guru yang satu ini seringnya mengerubungi yang anak laki-laki.

Why oh why? Gue kira cuma gue yang berpikir seperti itu, ternyata temen cewek lain juga merasa hal yang sama. Selain itu, kalau ada yang disuruh untuk maju mengerjakan di papan tulis, Bu Hildina juga lebih sering menunjuk anak laki-laki. Dari situ gue menyimpulkan bahwa Bu Hildina memberikan perhatian lebih banyak kepada murid yang lebih membutuhkan perhatiannya. Dan yang lebih membutuhkan adalah kebanyakan anak-anak cowok.

Makannya, Sa, jangan berburuk sangka dulu!

Walaupun kadang menjengkelkan karena terlalu perhatian pada anak lelaki, guru cantik ini tidak pernah yang namanya marah. Sebentar, gue inget-inget dulu kali aja Bu Hildina pernah marah. Setelah memutar otak, ternyata memang tidak ada moment di mana Bu Hildina marah. Sering kali anak-anak telat masuk kelas apalagi anak laki-laki, sebut saja Bagasa, Rafij, Ricku, Aryo, dan Tepon. Kalau telat, mereka tak pernah dimarahi seperti guru-guru lain. Mentok Bu Hildina hanya bilang "Telat lagi ... telat lagi. Kamu duduk di depan saja lah!" Ngomong seperti itu dengan santai. Seperti siswa ke siswa.

Pernah waktu itu Rafij dan Bagasa telat masuk kelas, mereka berdua disuruh berdiri di depan kelas, menghadap ke arah teman-teman. Ketika Bu Hildina menulis, dua Curut itu malah duduk alhasil mereka disuruh mengerjakan satu soal matematika untuk berdua.

🍭🍭🍭

Akhirnya aku update setelah sekian lama hehe.
Makasih banget ya yang udah baca sampai reads-nya hampir dua ribu.
Thx a lot ^^

Love

Xanderstern💚

My Class My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang