Part 2.1

2.2K 44 2
                                    

Dokter Fi POV

"Syukurlah, nenek itu akhirnya selamat." Ujar Dokter Rino tak lama setelah aku keluar dari ruang prioritas.

Aku tersenyum tipis yang aku yakini ia tak melihat senyumanku itu karena sudah kusembunyikan dengan baik. Sepertinya dia sengaja menungguku keluar setelah aku selesai dengan tugasku. Aku berjalan tanpa melihatnya, bukan sombong atau tidak menghargai, aku memang begitu. Ya aku menghindari Rino.

"Andika begitu beruntung, kalau tidak ia pasti bisa terbunuh." Ia terus berusaha mengajakku bicara, kudengar ia tertawa, ya mungkin menertawakan Andika membayangkan bagaimana wajah Andika ketika terkena omelanku. Dokter Andika memang benar kalau dia adalah 'muridku' yang paling aku sayangi. Saking sayangnya aku begitu hobby memarahinya.

Rino mengikutiku, aku biarkan saja. Ia tengah berbahagia hari ini. Ia 'resmi' menjadi spesialis bedah syaraf sungguhan, maksudku ia memimpin sebuah operasi bukan hanya menjadi asisten bedah dan ia berhasil dalam operasinya. Bagaimana aku tahu tanpa ia bercerita? Aku tahu itu, lihat saja wajahhya, begitu sumringah. Aku juga sangat bahagia dengan keberhasilannya tapi aku harus sadar dimana posisiku sekarang.

"Kau mengabaikanku?" Tanyanya begitu cepat. Aku menghentikan langkahku. Kulihat anak buahku di UGD mereka semua sedang sibuk dengan tugas mereka atau mengobrol dengan rekan atau memeriksa pasien. Tidak ada pasien yang perlu penanganan khusus untuk saat ini. Satu pasien yang tadi hampir plus (meninggal dunia) berhasil aku selamatkan dan aku lihat pasien itu tengah dibawa ke ruang ICU untuk perawatan yang lebih intensif. Tak ada yang memperhatikan kami. Aku menatapnya sebentar. Mata kami bertemu. Astaga wajahnya. Dia benar benar membuatku ingin. Ah sudahlah! Aku alihkan pandanganku sesegera mungkin dan meninggalkannya. Dia menarikku secepat kilat, membelokkan arah jalanku. Digenggamnya tanganku dan membawaku ke lift. Ku rasakan dengan erat ia menggenggamku seperti tak ingin kehilanganku, aku tak bisa menolaknya ia lebih kuat dariku dan jujur hatiku berkata bahwa aku harus ikut dengannya.

Kami masuk ke dalam lift. Dia menekan      tombol yang pasti itu adalah nomor lantai dimana ruangannya ada disitu. Pagi-pagi buta seperti ini sedikit sekali orang yang beraktivitas hanya kami yang berada di dalam lift tak ada gangguan sama sekali. Dan seperti yang kalian tahu tak ada dari aku maupun Rino yang membuka percakapan seolah semuanya hanya perlu diutarakan dengan bahasa tubuh dan tatapan mata. Aku terus melihatnya. Meyakinkan perasaanku. Tadi saat dia memelukku aku yakin aku susah bisa move on. Namun sekarang keyakinanku itu lari entah kemana.

Dia merindukanku dan aku juga merindukannya. Aku tak ingin berbohong, bagaimanapun dia adalah orang yang sudah 6 tahun mengisi hari-hariku dengan status sebagai kekasih. Mungkin alasan kenapa sampai sekarang kami belum ada yang menikah adalah kami masih sama-sama saling mencintai. Meskipun itu hanya sedikit. Aku tegaskan, sedikit.

Ia tetap menggandengku erat dan kini aku dan dia berada dalam ruangannya. Ia membawaku masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu. Kami saling menatap dalam posisi berdiri. Aku memandangnya. Kuperhatikan wajahnya yang lelah setelah operasi, matanya juga menatapku bahkan aku bisa melihat guratan didekat matanya. Guratan pertanda bahwa usiamya benar-benar sudah tidak muda seperti saat dulu.

Ruangannya di dominasi warna putih dengan meja kerja beserta peralatan diatasnya dan juga satu set sofa. Aku mengalihkan pandanganku ke ruangannya. Aku takut hal yang tidak kami inginkan akan terjadi. Kami sama-sama saling merindukan dan kami sama-sama sudah dewasa. Dia menarik wajahku halus membawa pandanganku kembali padanya. Rino memang bukan pria romantis tapi ia akan sangat romantis jika sudah seperti ini.

A Love Between Doctor and ArmyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang