PROLOG

5.1K 215 15
                                    

A Love Between Doctor and Army
Versi Revisi oleh Fidela Setyaji

Jakarta, 12 Desember 2022

"Bunda..." panggil seorang anak laki-laki berusia tujuh tahunan sambil menatap dengan tatapan berkaca-kaca kepada bundanya yang kini tengah memegang erat tangan kanannya. Bundanya itu terlihat begitu tegar meskipun dari raut wajahnya tercetak jelas ia menyembunyikan begitu banyak luka dan rasa sakit.

Gundukan-gundukan tanah dengan bentuk dan ukuran yang seragam berjajar rapi, tempat peristirahatan terakhir manusia itu terlihat basah sepertinya hujan baru saja mengguyur. Terlihat pula nisan-nisan diatasnya bertuliskan nama si empunya tempat peristirahatan.

Seorang wanita berhijab berpakaian serba hitam datang dengan menggandeng tangan seorang anak kecil. Ia melangkahkan kaki menuju salah satu dari ratusan gundukan tanah tersebut. Langkahnya perlahan namun pasti, kedua tangannya tengah sibuk. Tangan kanannya menggandeng tangan mungil, sepertinya anak kecil itu adalah putranya sementara tangan kirinya menenteng sekeranjang penuh kelopak bunga mawar.

Dengan nada berdetak tak menentu kulangkahkan kakiku menuju salah satu nisan, dengan tangan bergetar kugandeng tangan kecil milik putraku. Dia... putraku sangat tidak ingin kuajak kemari.

Namun ini adalah saat yang tepat untukku memperkenalkannya pada seseorang, seorang laki-laki berani, perkasa, gagah, nan tulus. Semenjak ku hentikan mobilku di depan kompleks pemakaman ini ia sudah tahu apa maksudku dan sedikitpun ia ta mau beranjak dari tempat duduknya. Aku tak bisa hanya terus menceritakan betapa hebatnya sosok yang ingin aku kenalkan ini padanya. Aku tak bisa hanya menceritakannya tanpa ia tahu siapa sosok yang aku maksudkan itu.

Dapat kurasakan ia terus mengenggam tanganku dengan erat ku coba memberitahunya "Tak apa nak." Hanya kata itu yang terus terucap dari mulutku untuk meyakinkannya. Langkah kakinya pun juga terasa berat, aku tahu ia takut. Tapi aku tidak ingin mendidik anakku menjadi seorang yang penakut ia harus berani sama seperti sosok yang berada di dalam makam ini.

Langkah wanita dan anak kecil itu terhenti di salah satu nisan diletakkannya keranjang bunga itu di atas makam. Ia berjongkok di samping gundukan tanah. putra kecilnya yang terlihat gusar mengamati sang bunda yang serius menatap nanar pusara didepannya.

Bibir wanita itu bergetar mengucapkan sesuap kata yang belum mampu ia ucapkan karena air mata lebih dahulu terjun bebas dari matanya yang indah.

"Bunda..." panggil putranya lagi lirih dan khawatir.

"Delan..." bibirnya bergetar matanya tak kuasa menumpahkan air mata tangannya beranjak bergerak memeluk bahu putranya, Delan.

"Dia sekarang sudah berusia tujuh tahun. Delan anak yang baik dia juga pintar. Anda pasti sangat ingin bertemu dengannya bukan? "
Aku tak sanggup menahan air mataku, seharusnya didepan putraku aku tak boleh menangis dan menampakkan padanya betapa bundanya ini sangat sakit. Ia belum mengerti, namun apa daya semuya rencanaku itu buyar begitu saja ketika ku baca nama yang tertulis di nisan ini. Aku sadar aku tak bisa terus begini dan menampakkan seluruh kesedihanku pada putraku. Ku usap air mataku dan mencoba sedikit bercerita pada Delan.

"Delan... Pria di dalam adalah pria yang sangat hebat. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai pria yang tak pernah menyerah, dia selalu tersenyum dalam segala hal, pria ini sangat kuat, dia juga tidak pernah mengeluh tentang pekerjaannya, dia pria yang sangat berani, gagah, dan juga tegas." Aku bercerita pada putraku lagi dan lagi.

Kuyakin putraku itu sudah sangat hafal dengan karakter pria ini. Setiap malam jika aku sedang tidak berjaga di Rumah Sakit aku selalu menceritakan kisah-kisah pria ini semasa hidupnya sebelum Delan tidur. Kesibukanku sebagai seorang dokter terlebih aku seorang dokter spesialis bedah umum membuatku jarang menghabiskan waktu bersama putraku.

Setiap ada kesempatan aku selalu menceritakan betapa luar biasanya sosok pria dalam makam ini agar kelak Delan menjadikannya sebagai panutan. Hanya satu yang tak pernah kuceritakan pada Delan yaitu bagaimana pria ini bisa meninggalkan anak dan isterinya untuk selama-lamanya. Tapi, sekarang akan kuceritaka pada putraku sebagai seorang ibu akau punya cara tersendiri untuk mendidik anakku. Akhir kisah hidup pria ini kurasa penting agar anakku tahu betapa kejamnya dunia ini. Agar kelak ia bisa hidup dengan baik di tengah kejamnya dunia.

"Kamu tahu, Delan? Kenapa pria yang selalu bunda ceritakan ini meninggal?" ku tanya padanya pelan. Ia melihatku penuh penasaran.

"Delan, pria ini meninggal karena di mengorbankan nyawanya untuk orang lain. Dia me- me---" aku tak sanggup lagi menceritakannya pada anakku. Terlalu pahit untukku mengingat kisah kelam itu. Air mataku lagi lagi tak dapat ku tahan.

Kulihat Delan berdiri menjajarkan dirinya denganku dan menghapus air mataku. Aku menatap Delan.

"Bunda nggak boleh nangis." Katanya seraya menghapus air mataku, ku tatap dia penuh harap. Lalu kupeluk putraku itu, ku peluk ia dengan erat. Aku tak ingin kehilangannya sungguh.

A Love Between Doctor and ArmyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang