Part 23

43.1K 2.9K 51
                                    

Teman2,
Novel karya2 saya tersedia versi buku cetak dan ebook.

Buku cetak READY STOCK, bisa diorder pada saya, WA 08125517788

Untuk ebook, tersedia di aplikasi berikut (unduh aplikasinya di playstore):

> Karya Karsa
> Play Buku
> Lontara

* khusus di karya karsa harganya lebih murah

*semua cerita terbaru saya hanya tersedia di Lontara (cara belinya pergi ke profile dan topup saldo lontara, buat temen2 yang gak bisa top up, boleh hub aku di wa 08125517788, nanti aku bantukan topup)

Cerita dilanjutkan di Wattpad sampai TAMAT!

Part 23

Hari demi hari berlalu...

Setelah ia berhasil ditemukan malam itu, sherine mendapatkan kebebasan melakukan apa pun yang ia inginkan, dengan dikawal pengawal, tentu saja. Nicholas memberinya kebebasan karena pria itu tahu, sherine sudah termakan ancamannya. Sherine tentu saja tidak mau Brad dan pengawal lainnya kehilangan nyawa karena dirinya.

Matahari tepat di tengah cakrawala saat Sherine akhirnya menggunakan sebaik-baiknya kebebasan yang selama hampir tiga minggu ini ia idam-idamkan.

Dengan sebuah mobil mewah yang disopiri oleh seorang pengawal dan didampingi Brad, Sherine meninggalkan rumah mewah Nicholas, rumah yang membuatnya serasa berada di dalam sangkar emas.

Meski sedikit jengkel akan pengawasan yang Nicholas atur, seolah-olah ia adalah harta paling berharga pria itu—padahal tak lebih dari seorang istri yang ia jadikan budak hasratnya—Sherine tetap merasa bersyukur dengan kebebasan tanda petik yang ia dapat.

Tujuan pertama Sherine adalah menziarahi makam ayah dan ibunya. Ia menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit di sana. Menangis dengan isak tertahan, lalu mendoakan kedua orangtuanya.

Saat masuk ke dalam mobil, ia dikejutkan dengan sikap lembut Brad yang mengulurkan tisu padanya.

Ternyata pria itu sangat berbeda dengan penampilannya. Sherine tak menyangka Brad akan cukup perhatian dengan mengulurkan tisu.

Sherine menerima tisu dari Brad dan menggumamkan terima kasih.

Brad hanya mengangguk kecil.

Sherine menghapus air matanya dengan tisu sementara mobil mulai meninggalkan area pemakaman.

Tujuan Sherine selanjutnya adalah rumah ayahnya. Saat mobil tiba di sana, ia dikejutkan dengan tulisan di sebuah tripleks kecil yang tergantung di pintu pagar.

Rumah dijual! Hubungi—

Rongga mata Sherine memanas. Apalagi yang terjadi kali ini? Apa yang membuat ibu tirinya ingin menjual rumah ini?—satu-satunya rumah yang Sherine miliki. Rumah yang penuh kenangan manis Sherine bersama ayahnya—yang tiga tahun belakangan ini dirusak oleh kehadiran Sofia, ibu tirinya.

Dengan kesedihan memenuhi diri, Sherine melangkah turun dari mobil, diikuti Brad dan satu pengawal lainnya.

Sherine membuka pintu pagar yang tidak terkunci, lalu selangkah demi selangkah mendekati rumah itu.

Tiba di depan pintu rumah, Sherine menekan bel pintu.

Hanya butuh dua menit, muncul wajah cantik di awal empat puluh yang seketika terkejut melihat siapa yang datang mengunjunginya.

"Ah! Sherine. Akhirnya kau datang juga, anakku, aku pikir kau sudah melupakan ibumu ini setelah menikah dengan pria kaya itu."

Sherine selalu benci dengan basa-basi berlebihan dan penuh kepalsuan ibu tirinya. Kenyataannya selama tiga tahun menjadi ibu tirinya, Sofia sama sekali tak pernah berprilaku selayaknya seorang ibu. Sofia hanya sibuk dengan teman-teman arisannya, menghabiskan uang ayah Sherine dengan membeli barang-barang mewah seperti sepatu, tas dan pakaian karya desainer, atau berlibur ke luar negeri hampir setiap bulannya.

"Kenapa ibu ingin menjual rumah ini?" tanya Sherine langsung pada masalah yang memenuhi kepalanya sejak melihat tulisan di pintu pagar itu.

"Oh itu!" Sofia tertawa sumbang. "Karena aku butuh uang, Sayang. Ayahmu tidak meninggalkan harta berlimpah selain rumah jelek ini."

Rumah jelek!

Wajah Sherine memanas. Amarah membakarnya dengan dahsyat. Beraninya wanita ini mengatakan rumah ini rumah jelek!

"Ah, ralat, sayang. Kau juga salah satu harta berharga ayahmu."

"Apa maksud, Ibu?"

Sofia hanya menyeringai sinis membuat Sherine jengkel.

"Omong-omong, maaf aku tak punya waktu untuk mengobrol denganmu sekarang, Sayang. Aku ada janji dengan teman-temanku."

Sherine menggigit bibir geram. Ia tahu Sofia ingin ia segera meninggalkannya.

"Kau tak boleh menjual rumah ini, Ibu. Ini rumah ayahku," kata Sherine tegas.

Sofia menyeringai lebar, "sayangnya rumah ini sudah diwariskan padaku."

Sherine menatap Sofia dengan mata berapi-api. Ia mengepal jemarinya kuat-kuat. Geram melihat tingkah tak pantas ibu tirinya.

Tahu percuma mencegah Sofia menjual rumah ini dengan berdebat lebih lanjut, Sherine berbalik dan berlalu.

Di dalam hati ia menyumpah penyihir jahat itu.

***

bersambung...

aihh... semoga suka ya..

vote vote dan komeeeennn

thanks you.

Istri Idaman sang Duda - REPOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang