Haru Biru

32 0 0
                                    

Pasar malam sangat ramai weekend ini. Seakan Klaten mau tumpah. Syameel dan orang tuanya masih berkeliling taman sejak sore hingga pasar malam dibuka. Kebahagiaan yang haqiqi kini benar-benar melengkapi keluarga itu.

Adam berjalan dibelakang, menggendong Syameel. Acha berjalan selangkah didepan Adam, sambil melihat-lihat stand baju yang kini sedang mereka lewati.
Mata keduanya berkeliling melihat baju-baju yang dijajakan. Sampai tak melihat seorang wanita bercadar lainnya sedang berjalan juga didepan Acha.

Bruk!

"Astaghfirullah!," ucap wanita itu.

"Allahu Akbar, afwan ummi...!"

"Ndak apa-apa... Ana ndak lihat jalan, Ukh..."

"Sama-sama mi, afwan yaa..."

Mata Acha tajam melihat ke arah mata wanita itu. Seperti tak asing, namun siapa?

"Afwan ukh, kita seperti pernah bertemu?," kata wanita yang suaranya seperti sudah ummahat.

"Na'am, tapi dimana? Oh iya, perkenalkan, Ana Acha."

"Naaaah! Mbak Acha! MaasyaaAllah.... Senang sekali bertemu anti..."

Acha terperangah. Siapa dia? Sebegitu kenalkah wanita ini dengan Acha?

"Ummi....."

"Marfu'ah! Masa lupa, Cha? Umminya Nesvia... Kaget ya?"

Acha semakin terperangah. Sampai ia tak menyadari bahwa mulutnya sudah terbuka, kaget, bingung akan mengatakan apa. Tiba-tiba air matanya mengalir deras, rasa berat didadanya terasa terbang melayang begitu saja, ringan. Tangannya reflex memeluk Ummi Marfu'ah. Tangisnya lepas. Ia tak peduli semua orang mendengarnya. Ummi Marfu'ah hanya mencoba menenangkan Acha. Ummi Marfu'ah sadar betapa sedihnya Acha dari tangisannya.

"Ummi....."

"Piye, nak..."

"Acha kangen Nesvia..."

Tangisnya tetap menghiasi stand baju di pasar malam itu. Entah telah berapa lama Acha memeluk Ummi Marfu'ah. Malam itu, haru, biru. Akhirnya senja yang lama mendekap kini perlahan berubah menjadi pagi.

***

Senja Yang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang