TERLALU BAHAGIA

96 0 0
                                    

"Bukan ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin bersamamu, Cha. Tapi orang tuaku yang utama. Jika aku punya suami nanti, aku tidak akan bisa menomorsatukan orang tuaku lagi... Cha, semoga kamu bahagia ya... Semoga perpisahan ini bukan akhir dari silaturahmi kita, walau saat ini hanya email yang bisa kita gunakan selain telefon seluler... Sinyal di Magelang jelek. Kamu taulah rumahku... Salam cinta, Nesvia dan Papa."

Tak! Tak! Tak! Tak!

Tangan Acha menari di atas laptopnya, membalas email dari sang sahabat yang sudah hampir 10 bulan tak ditemuinya. Lama, lama sekali rasanya. Kini ia tinggal di sebuah rumah bersama kakaknya. Ia dan kakaknya sudah sepakat untuk membagi 2 bagian rumah itu untuk ibadah. Mereka memisahkannya dengan sutroh di bagian tengah dengan jarak depan dan belakang yang sama.

"Cha!!!"

"Iya kak?"

"Ada paket buat kamu!"

"Paket?..."

Dug! Dug! Dug! Acha menuruni tangga kayu yang mengkilap setelah di bersihkan si mbok. Rumahnya antik, dengan bahan dasar kayu yang unik, membuat rumah ini seperti pondokan di pinggir pantai.

"Nih, dari penggemar rahasiamu."

"Apa sih, kak..."

Ia berlari lagi ke kamarnya, membuka paket dengan kutipan surat di dalamnya.

Begini isinya...

"Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Cha, masih ingat saya? Sekitar hamper 1 tahun yang lalu kamu ketemu saya di masjid Al-Aqsha Klaten. Mungkin kamu lupa. Saya Adam Malik, temannya mbak Nesvia. Beberapa hari lalu saya email minta alamatnya Cha. Alhamdulillah, beliau percaya sama saya, dan insya Allah, saya bisa dipercaya kok. Saya asli Yogyakarta, Cha. Alhamdulillah, saya sudah lulus. Baru dikabarkan kemarin siang. Ehm, begini. Saya ingin mengenal kamu lebih jauh. Dan kalau misalnya di izinkan, saya dan wali saya akan datang kerumahmu untuk silaturahmi. Jika diperkenankan. Terima kasih, jazakillah khairan katsir. Wassalam. Ttd, adam.maliki01472@yahoo.co.id."

DAG DIG DUG! Jantung Acha berdegup kencang. Seperti akan loncat dari tempatnya. Acha bangkit dari tempat tidurnya. Di usianya yang sudah menginjak 29 tahun, Acha memang sudah ingin sekali menikah. Apalagi selama ia pindah ke Solo, tidak ada lagi teman yang mampu menyemangatinya prihal nikah.

Beberapa waktu lalu ketika ditanya oleh Mama dan Papanya, kapan ia dan kakaknya menikah...

"Kakak dulu tuh..."

"Eh, jodoh mana ada yang tau? Ya kan, ma? Pa? Kalo kamu duluan, aku sih nggak apa-apa... Nggak minta uang panaik kok... Hahahaha."

Acha berharap sesuatu, tapi ia tepis harapan itu.

"Nggak nggak nggak. Yaa Allah, bantu aku. Apa aku email dia aja? Duh gimana ya... Kan nggak boleh berkhalwat walau lewat email... Aku nggak kenal dia. Aku nggak kenal dia. Aku nggak tau siapa dia... Pokoknya... Kak Karen??? Iya, bener. Kak Karen!"

Langkah kaki Acha tak menentu. Ia berlari secepat mungkin menuruni tangga, melebihi kecepatannya sewaktu menjemput paket di pagi hari. Acha atak memperhatikan langkahnya di tangga rumahnya sendiri.

Brak!

Karen berlari menghampiri asal suara. Di sana Acha sudah tak sadarkan diri dengan bentuk kaki yang tidak normal. Patah, dan bengkok karena terbanting dari puncak tangga. Seluruh hidung, kening, gigi, kulit, semuanya berlumuran darah.

"Cha!!!!!!!!!"

***

Hujan deras mengguyur pagi yang kelabu. Bulan November menjadi ajang puncak hujan terkuat dalam setahun. Yah, pagi itu kelabu. Acha harus dilarikan ke IGD, kakinya harus di gips, dan ia harus menjalani fisioterapi, agar dapat berjalan seperti semula. Bahkan, terapi untuk ia dapat berdiri lagi. Orang tua Acha mendampingi Acha yang sampai saat ini masih belum sadarkan diri. Sedangkan Karen sibuk mengotak-atik email untuk menghubungi Nesvia.

"Nesvia, maaf, ini Karen. Nesvia, Acha tertimpa musibah. Dia kecelakaan pagi ini, diduga jatuh dari puncak tangga. Kakinya patah, kepalanya terbentur keras, dan sekarang belum sadarkan diri. Masih belum melewati masa kritis. Kami mohon do'a, jika kamu sempat, hubungi telefon seluler Mama. Nanti akan kuberitahu lokasi rumah sakitnya. See you soon..."

Email pendek itu belum juga dibalas Nesvia. Atau mungkin belum dibaca? Yang jelas, Acha harus berjuang melawan masa kritisnya ini. Semua orang di sekitarnya harus membantu Acha melewati semuanya.

"Adam?," ucap Karen ketika melihat surat yang dipegang Acha ketika jatuh dari tangga.

"Ow, mungkinkah ini..."

Akhirnya, Karen berusaha memberitahu kedua orang tuanya.

"Ma, Pa. I think your daughter will be getting married?"

"Maksudmu? Mama nggak ngerti."

"Ini... Seorang laki-laki muslim sedang berusaha melamar Acha. Ini keren bukan?"

"Karen, apa nggak sebaiknya kamu duluan saja? Kata orang jawa...."

"Haha, kalo di loncat adik menikah dapat jodohnya susah? Ya kan, Ma? Ma, come on, it's 2018. Ini masa depan, Ma. Orang-orang yang bicara kayak gitu udah nggak ada. They come back to the soil!"

"Karen... Mama hanya ingin kamu..."

"What? Merried? Take care a husband and carry my childrens? No, it's not me. I still want to be free, Mom..."

Air mata Karen membasahi pipinya. Mama dan Papanya iba melihat Karen yang bersikap seperti ini.

"Karen, how old are you?," tanya Papanya.

"32."

"So, how old are we, Karen? We, your parent."

Karen mengangkat kepalanya, "Mama 57, Papa 64."

"Karen tau, kami kapan back to the soil?"

Karen menggeleng. Air matanya semakin banyak, menatap kedua orang tuanya yang duduk bersebrangan dengannya.

"So, kenapa kamu menunda kebahgiaan kami? Padahal hanya itu yang kami mau, Karen... Bukan kamu yang harus kerja dan belanjakan kami, bukan. Kami hanya ingin seorang cucu. Jika Tuhan hanya beri seorang, it's okay. But, we want to see you on the Altar, standing with your man... Just that. Nggak banyak."

Karen tertunduk kembali, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Ia menikah, dan mungkin akan sulit mencari pasangan yang baik untuknya, karena selama ini ia hanya sering bermain tanpa mengenal lelaki yang baik sekalipun. Dan ia berpikir, apakah ia cukup baik untuk mendapatkan pria yang baik?

***

Matanya menatap lilin dihadapannya. Lampu yang gelap, tapi menenangkan. Ia terus berdo'a dalam hatinya, apa yang harus ia lakukan. Orang tuanya, adiknya, bahkan mendiang adiknya, semua mungkin akan mengharapkan hal yang sama. Karen punya waktu sampai Acha siuman, dan entah itu kapan. Bisa cepat atau bisa lambat.

"Tuhan..."

Suaranya parau. Pikirannya kacau balau. Tangannya dan sekujur tubuhnya dingin seperti dirinya akan menghadapi masalah besar didepannya.

Esok paginya, Karen sarapan seperti biasa. Di rumah sakit ada sang bibi yang setia menunggu Cha yang masih belum juga membuka mata. Karen bergegas menuju rumah sakit menggantikan posisi bibinya.

"Terima kasih ya, bi. Bibi sudah membantu jaga Cha."

"Sama-sama. Nanti kalo ada butuh apa-apa, silahkan telfon Andrew, Andrew pasti antar bibi ke sini..."

Karen masuk ke ruangan dingin penuh dengan peralatan yang membantu adiknya hidup hingga saat ini.

"Yang masih membuat adek bernafas bukan alat-alat ini kan? Adek bernafas karena adek masih diberi kehidupan kan? Apa itu Tuhan? Tuhanmu, dek? Itukah Allah yang sering adek ceritakan? Kalo memang iya, Kak Karen akan minta sama Allah agar Allah bukakan matamu, sehatkan jiwa dan ragamu dek..."

Air matanya tumpah ruah. Tangan Karen menggenggam erat tangan Acha. Suara mesin-mesin buatan manusia untuk membantu pernafasan manusia lainnya sebagai ajang pertahanan hidup menyerang penyakit, kini bukanlah sepenuhnya yang menghidupkan atau mematikan seseorang. Hanya Allah ta'aala yang mampu melakukannya.

Karen sadar akan hal itu.

"Aku tau, dek. Aku ingin sepertimu..."

Senja Yang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang