Sama-Sama Pergi

37 0 0
                                    

Ucapan turut berduka cita disampaikan semua pelayat pagi itu. Jam 10 pagi jenazah Ibu Mei di semayamkan, diantar para pelayat, terutama sang suami dan putri semata wayangnya, Nesvia. Yah, semata wayang. Putri yang kini harus menjadi pengganti sang ibunda merawat ayahnya.

Rumah duka sudah bersih kembali. Kini hanya tinggal kenangannya, yang mungkin akan cukup memakan waktu lama dalam penghapusannya. Dan mungkin hanya akan menjadi memori penuh kasih kala melalui hari-hari yang baru tanpa sosok Ibu di dalamnya.

"Nes, Papa mau bicara..." kata Pak Pras pada putri semata wayangnya. Ya, semata wayang.

Nesvia duduk bersama Acha, mereka akan terus begini, seperti lem tembak, yang akan kuat melekat.

"Nes, jangan risaukan Papa disini. Papa nggak papa..."

"Pa, Nesvia akan pindah ke sini, merawat Papa. Acha akan aku ajak untuk kost didekat sini..."

Acha memotong pembicaraan, "Maaf, aku nggak bisa, Nes. Kamu tahu, keluargaku di Solo... Dan ucapanmu semalam..."

"Oh, ya. Pa, Aku yang akan di sini, sementara Acha mungkin akan tetap..."

"Aku akan pindah ke Solo."

Nesvia menatap Acha dalam sekali. Seperti jauh ke dalam matanya, bermil-mil jauhnya. "Aku pindah ke Solo, Nes. Semalam, aku sudah email kakakku. Dan, dia bahagia. Mama Papa juga seneng..."

"Tapi rumahmu yang bernuansa..."

"Nggak, aku nggak tinggal dirumah itu. Aku tinggal di rumah warisan Papa yang baru selesai di bangun."

Tatapan Nesvia berubah menjadi rasa takut kehilangan. "Cha, apa kita akan berpisah kayak gini? Apa kita..."

"Kita akan sering ketemu kok, karena aku akan sering main ke sini. Boleh kan, Om?"

Pak Pras mengangguk, tersenyum. Ia pun tak mau sampai anaknya kehilangan sahabat yang sudah menerimanya selama ini.

"Semoga Cha bahagia ya..." kata pak Pras.

Acha mengangguk. Lagi.

***

Senja Yang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang