"Cha...?," Nesvia terbelalak membaca email dari Karen yang masuk hampir 5 hari yang lalu. Ia langsung berlari ke kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke Solo.
"Pa, Nesvia mau ke Solo ya."
"Ngapain?"
"Acha, jatuh dari tangga dan sekarang koma..."
"Astaghfirullah... Yasudah, hati-hati. Bawakan oleh-oleh untuk keluarganya."
"Siap, Pa. Assalaamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam."
Kereta Pramex pagi itu membawanya ke stasiun Solo Balapan. Sesampainya di sana, ia menelfon keluarga Acha. Karen yang menuntunnya sampai ke rumah sakit. Nesvia beruntung, tidak ada delay pagi itu.
"Kak..." sapa Nesvia pada Karen. Air matanya tak terasa tumpah ruah.
"Nes..."
Nesvia memeluk erat Karen yang juga telah dianggap sebagai kakaknya ini. Mereka menumpahkan rindu yang lama tak terobati. 10 bulan lamanya mereka tidak bertemu. Bagai bertahun-tahun sudah mereka tak jumpa muka.
"Nes, ayo, Acha ada di lantai 8."
Nesvia mengangguk.
Ia dan Karen berlari menuju lift untuk naik ke lantai 8. Di lift, Karen hanya terdiam, enggan bercerita apapun tentang keadaan Acha maupun bertanya keadaan Nesvia yang sudah 10 bulan tak ditemuinya.
"Ini ruangannya. Kamu kalo masuk pake baju hijau itu, terus pake hand sanitizer."
"Iya, Kak... Oh, aku bawakan ini, titipan Papa, untuk kakak kalo laper lagi jagain Acha."
"Ya Tuhan, makasih ya Sayang. Yasudah, kamu masuk sana. Aku makan oleh-olehmu."
"Iya, kak."
Perlahan tapi pasti, Nesvia melangkahkan kakinya ke ruangan dingin dan sunyi itu. Hanya ada suara peralatan yang membantu Acha bernafas hingga saat ini. Entah apa yang Acha pikirkan dalam tidur panjangnya ini. Kenapa sampai saat ini ia juga belum juga sadarkan diri? Apa yang sedang Acha lakukan dibalik tidurnya?
Nesvia telah selesai menggunakan baju hijau standar masuk ICCU. Ia melangkah ke kursi yang ada di sebelah tempat Acha terbaring. Matanya tak lepas memandang wajah cantik si putri Tionghoa yang ia kenal hampir 4 tahun belakangan. Nesvia duduk persis disebelah tubuh sahabatnya yang terbaring lemah.
"Assalaamu'alaikum Cha... Apa ka...bar..."
Air matanya tumpah ruah. Tangisnya menjadi tanpa suara. Nafasnya sesenggukan, dan sungguh menyiksa.
"Acha..." panggilnya lirih. Ia tahu, sahabatnya mendengarnya.
Tangisnya belum berhenti juga. Isi kepalanya berperang untuk berhenti mengingat memori indah bersama Acha, menyebabkan air matanya semakin deras justru tak kunjung usai.
Sampai akhirnya...
"A... Allah... Allah..." terdengar suara Acha yang lemah dan amat parau, seperti berbisik namun terdengar.
"Hah... Cha...?"
Atas izin Allah, Acha sudah mampu menggerakkan jari dan membuka sedikit matanya. Buram, silau.
Acha masih ragu, apakah ini dunia atau syurga. Tubuhnya lemah, tak ada yang bisa ia gerakkan selain jari telunjuk dan matanya untuk berkedip. Detak jantungnya justru melemah. Nesvia menekan tombol darurat dan memanggil suster.
"Permisi, keadaan darurat kamar ICCU! Darurat!," teriak suster dan dokter yang berlari kearah kamar Acha. Nesvia keluar dan menunggu bersama Karen. Bibir mereka tak henti-hentinya mengucap do'a, tubuh mereka gemetar, dingin namun panas! Tangan mereka saling menggenggam, menghadirkan percikan harapan-harapan baru dan mengimplementasikannya dengan do'a.
Hampir 20 menit menunggu penanganan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter dan 3 ners sekaligus, akhirnya para petugas kesehatan itu membuka pintu ICCU dan keluar dengan wajah sumringah.
"Nona Karen, ananda Resha sudah sadar sempurna."
Nesvia dan Karen saling berpandangan. Mereka menangis haru dan saling berpelukan. Nesvia melayangkan sujud syukur di atas lantai rumah sakit yang dingin, tak henti-hentinya ia mengucap syukur kepada Sang Maha Kuasa.
"Boleh di jenguk, dok?," tanya Karen.
"Tentu, kami akan bantu untuk menyiapkan perpindahan ananda Resha ke kamar rawat."
Nesvia dan Karen masuk ke ruangan dimana Acha sudah mampu melihat dan mendengar dalam keadaan stabil.
Dalam kepalanya, Acha hanya mengingat ribuan kenangan indah bersama kakak dan sahabatnya yang kini melangkah kearahnya. Lamunannya bubar, tangisnya tumpah menyambut pelukan hangat Nesvia dan Karen.
"Nes, aku kangen kamu. Kamu jangan pergi..." kata Acha, lemah.
"Iya, Nes. Aku di sini."
Karen memeluk keduanya. Kedua adiknya yang sudah menghiasi hidupnya kini berkumpul dan memberu warna kembali setelah semua yang terjadi. Semua seakan seperti baru. Suasana menjadi seperti indah kembali. Kehangatan inilah yang dirindukan Acha dan Nesvia. Bersama-sama menggapai warna setelah senja.
Seyogyanya, keindahan akan hadir dengan sendirinya ketika seseorang tidak pernah menganggap kegelapan adalah akhir dari segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Sunyi
Short StorySenja memang selalu indah. Mataharinya, anginnya, suasananya, serta ceritanya. Terutama, cerita yang dilengkapi aku dan kamu. Yang berawal dari sebuah dongeng, mimpi, dan harapan. Hingga akhirnya, semua menjadi nyata, atas hasil do'a yang tak bersua...