MAGELANG BERDUKA

119 0 0
                                    

Telefon genggam berdering, mengganggu tidur nyenyak yang dihiasi mimpi indah. Malam yang biru, menghampiri Nesvia.

"Assalaamu'alaikum wa rahmatullah..." sapa Nesvia lirih dengan kantuk membebaninya.

"Wa'alaikumussalam... Nes, Mama... Mama nggak ada, Nes," kata seseorang dibalik telefon, sambil sedikit tersedu.

Nesvia bangkit dari tempat tidurnya, berlari ke tempat tidur Acha.

"Acha... Acha, bangun. Cha..."

Acha yang belum sadar dari mimpinya menatap Nesvia dengan tatapan kosong.

"Cha, Mama..."

"Hah?..."

"Mama, Cha... Mama... Nggak ada..."

"...??"

Pukul 01.45 dini hari. Sejuk angin bekas gerimis semalam belum juga hilang. Nesvia dan Acha harus melaju motornya sedikit lebih kencang dari biasanya. Acha yang menyetir, dengan penuh kehati-hatian. Nesvia hanya bisa melamun kosong, tak peduli dingin udara yang menyelimuti tubuhnya malam itu di sepanjang jalan Magelang. Ya, Magelang sudah tidak jauh lagi.

Di rumah Nesvia, bendera putih sudah terpasang di sudut pagar. Suasana rumah sangat ramai oleh saudara dan tetangga. Beberapa diantaranya menangis sesenggukan. Ya, rumah duka.

"Mama..."

Nesvia turun perlahan dari motornya. Acha langsung siap siaga melihat pergerakan temannya yang mulai melambat itu.

"Ma... Mama...? Mama!!!!"

Nesvia berlari kencang ke dalam rumahnya yang mungkin sudah lama tak dikunjunginya.

"Nes!!," Acha mengejar Nesvia, tak peduli dengan barang-barang di atas motor.

Langkah Nesvia terhenti. Didepan matanya, ada seorang pria dengan baju koko lengkap dengan sarung yang pernah Nesvia belikan untuknya. Laki-laki itu pedih menatap Nesvia. Air mata tak henti-hentinya mengalir deras kala matanya memandang gadis bergamis syar'i ini.

"Pa...?"

"Nes... Mama, Nes..."

Lutut Nesvia lemas. Matanya seperti perih terkena debu. Seakan air matanya tak terbendung. Dadanya bergemuruh, degup jantungnya cepat tak menentu. Rasanya ingin ia berteriak dan memanggil nama sang Ibu.

Tumpah sudah air mata dan tangisnya di lantai rumahnya. Jarak ia terduduk hanya 5-7 langkah dari tempat sang Ayah bersila. Nesvia meraung menyadari semuanya. Saudara dan kerabat yang hadir malam itu hanya mampu membantu menenangkan Nesvia.

Acha pun tiba. Dipandangnya Nesvia dalam-dalam.

"Cha... Mama, Cha... Ma...."

Gelap.

***

Perlahan mulai terang. Matanya mulai melihat sekitar, dan mulai merespon sorot lampu yang ada persis di atas kepala. Nesvia mulai siuman. Suasana semakin menegang. Acha terus menggenggam tangan sahabatnya itu. Do'a terus keluar dari bibir manis Acha. Ia terus menggumam berdo'a kepada Allah atas semua ini. Terutama, untuk kesadaran serta ketabahan sahabatnya.

"Cha..." ucap Nesvia lemah.

"Nes... Ssstt... Udah, kamu diam dulu disini, ya? Aku ada disini. Kamu istirahat sama aku disini. Oke?"

Nesvia masih belum bisa memandang sekitar dengan jelas. Tapi kepalanya mulai pulih. Ingatannya kembali segar, mengingat kenapa ia ada di tikar itu bersama Acha.

"Mama!," teriak Nesvia, air matanya keluar lagi.

"Mama!! Mama jangan tinggalin Via!!! Mama!!! Mamaaaaa..! Cha, Mama Cha! Mama!!!"

Gerak tubuh Nesvia tak bisa dikendalikan. Ingin saja ia bangkit, tapi kesadarannya belum sempurna untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Terjatuh berkali-kali, berputar pula berkali-kali.

"Ssstt... Nesvia. Nesvia dengarkan aku. Nes, kamu sahabatku, dengarkan aku."

"Cha.. Mama... Cha..!"

"Nes, dengarkan!"

Acha mengguncang lengan Nesvia dengan kedua tangannya. Nesvia tertegun menatap Acha dalam, penuh kehancuran.

"Nes, Mamamu sudah bersama Allah. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Ingat itu. Kamu mencintainya, itu nggak seberapa, dibanding Allah yang mencintainya. Cintamu bukan cinta sesuci cinta-Nya. Cintamu hanya cinta manusia biasa. Kalo kamu meratap begini, Mama bukannya tenang, malah berat untuk kembali."

Nesvia jatuh lemah dipelukan Acha.

"Cha, gue belom sempet bilang sayang ke mama... Gue selalu sibuk sama kerjaan, Cha. Gue nyesel..."

"Sudah, tidak ada yang perlu disesali. Mamamu khusnul khotimah, insya Allah."

"Aamiin..."

Nesvia mulai tenang, walau air matanya masih belum berhenti. Saat ini, Acha sudah berani memapah Nesvia untuk melihat jenazah ibunda yang sudah dimandikan.

"Mama cantik ya, Cha..."

Acha mengangguk. Genggaman dan rangkulannya pada Nesvia belum mengendur juga. Masih tetap siaga dengan keadaan sahabatnya yang bisa saja berubah sewaktu-waktu.

"Cha... Gue mau sama Mama aja..."

"What!?"

"Iya, gue mau sama Mama aja... Gue sayang sama Mama, Cha..."

"Nesvia, maksudmu? Nes, masa depanmu masih panjang, kamu juga belum..."

"Ssst... Maksudku, kita duduk di sini, kita do'akan Mama."

"Huhhh....."

Acha lega, sahabatnya sudah normal dan stabil kembali, walau air matanya masih belum juga berhenti keluar. Setidaknya, Nesvia sudah tau apa yang harus ia lakukan kala itu.Papanya masih duduk di sana, terus berdzikir dan beristighfar, menebalkan keimanan dan ketabahannya. Berusaha melupakan kenangan lebih dari 40 tahun bersama istrinya.

***

"Cha, what do you think? Mama bakal ke surga nggak?"

Acha menoleh ke sahabatnya yang hanya memegang Al-Qur'an tanpa membacanya.

"I think, yeah. Aunty will going to heaven."

"Tapi gue piker enggak. Masa lalu mama... Segala yang mama lakukan selama ini... Kami muslim, tapi entahlah..."

"Nes! Lo kenapa nggak do'ain Tante aja sih? Siapa tau karena do'a lo, tante masuk surga. Ustadz yang sering ceramah juga suka bilang, do'a anak yang shalih dan shalihah adalah amalan yang tidak putus sampai kita mati."

Nesvia tertunduk lesu, "Gue nggak tau, apakah gue termasuk anak yang shalihah. Setelah apa yang gue lakukan ke mama... Gue merasa, nggak pantas dapat gelar anak shalihah. Boro-boro do'a, ngunjungin mama aja jarang, sampe akhirnya gue nyesel, ketemu pas mama udah nggak ada. Lo jangan sampe kayak gue ya. Sering-sering kabarin nyokap lo. Biar gimanapun, lo harus jadi anak shalihah. Itu kewajiban, bukan sunnah. Hehe.."

Acha terperangah. Ia menyesal, selama ini hanya beberapa kali selama setahun untuk mengunjungi orang tuanya. Walaupun mereka tidak satu keyakinan, harusnya Acha tetap mengutamakan mereka dibanding siapapun.

Senja Yang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang