Seakan semua beban sirna begitu saja. Yang dipendam, yang dipikirkan... Semua hilang, lepas. Karena hanya 1 yang menjadi penyakit selama bertahun-tahun. Adalah rindu.
Malam itu di angkringan "Pak Bejo", Klaten. Acha, Adam, Syameel, Ummi Marfu'ah dan Pak Pras duduk bercengkrama. Beberapa bungkus nasi dan minuman hangat telah habis disantap. Kini hanya tinggal obrolan yang harus mereka utarakan satu sama lain.
"Cha..." sapa Ummi Marfu'ah, lembut.
"Ya mi..."
"Hari Sabtu, akan ada seorang ikhwan yang membawa keluarganya untuk melamar Nesvia. Jujur, kami mencari kamu kemana-mana. Tapi memang tidak ada kabar. Nomormu ganti, nomor Nesvia ganti, rumah kami di Magelang pun pindah ke Yogyakarta."
"Nesvia akan menikah? MaasyaaAllah... Bolehkah ana datang Mi?"
"Itu dia... Nesvia ingin kamu datang, tapi kami tidak tahu keberadaanmu."
"Ana akan datang, Mi. Ana akan datang...."
***
Tangis Acha pecah. Pagi itu memang pagi yang sedikit penuh ketegangan di kediaman Adam.
"Kan Bunda tahu kalau sabtu adik ayah akan lamaran, dan cuma Ayah yang diinginkan Rio untuk melamar akhwatnya..."
"Iyaa, Ayah... Tapi aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Nesvia. Izinkan aku bertemu dengannya, menjelang hari bahagianya..."
Air mata bercucuran. Acha berlutut saat itu juga.
"Kumohon... Tidak ada permintaan lain dalam hidupku, selain silaturahmi ini. Kumohon... Ayah suami yang bijak. Aku mohon... "
Adam menghela nafas. Syameel belum bangun dari tidurnya, yang mungkin tidak akan mendengar suara tangis Bundanya. Sesak, pasti sakit rasanya jika tidak bisa menghapus air mata sang istri. Acha memang tidak pernah meminta apa-apa. Baru kali ini ia betul-betul memohon sesuatu, bahkan yang sesimpel itu.
"Baiklah. Gini. Karena jamnya bentrok, nanti kita berangkat bareng ke Yogya. Ayah nggak tau rumah Akhwat yang mau dilamar Rio. Siapa namanya, Ayah juga nggak tau, Bun. Nanti sampai kontrakan Rio di Jogja, kamu sama Syameel naik taxi online aja ke rumahnya Nesvia. Nanti pulangnya, Ayah jemput. Oke?"
"Serius? Kamu izinkan aku? MaasyaaAllah...!!!!"
Pelukan hangat dan senyum manis sang Istri kembali lagi. Inilah yang Adam inginkan. Hanya mengiyakan hal spele untuk istri, bukanlah hal sulit. Namun terkadang, banyak laki-laki yang menganggapnya berat dan sulit. Atau, menganggap permintaan sang istri terlalu aneh-aneh.
"Makasih, Abu Syameel..."
"Hem.... Tapi jangan lupa lho, kontrol diri..."
"Na'am!"
Kemesraan mereka terputus karena suara tangis Syameel dari kamar. Memecah keheningsn yang romantis pagi itu. Air mata Acha sudah tak akan pernah tumpah lagi. Ini mungkin akan jadi hal yang memusingkan Adam untuk terakhir kalinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Sunyi
Historia CortaSenja memang selalu indah. Mataharinya, anginnya, suasananya, serta ceritanya. Terutama, cerita yang dilengkapi aku dan kamu. Yang berawal dari sebuah dongeng, mimpi, dan harapan. Hingga akhirnya, semua menjadi nyata, atas hasil do'a yang tak bersua...