Enam

85.6K 2.7K 24
                                    

"Ya ampun, bolos beneran dia." Gerutu Siska sambil menggelengkan kepalanya pelan. Untung saja, guru Ekonomi sekarang ini sangatlah sabar, ia tidak akan memarahi siapapun.

"Tapi yakin aja deh, si Lyra nggak bakal ngapa-ngapain. Emang kunyuk itu berani bunuh diri? Gak mungkin!" Gerutunya lagi pelan sambil tertawa kecil.

Siska yakin bahwa sahabatnya itu sedang kecewa dengan masa lalunya yang membuat Lyra hancur berkeping-keping.

Masalalu yang sulit dijelaskan, sulit dilupakan, dan sulit untuk dimaafkan.

"Tidur aja." Katanya yang malah tidur ketika Kegiatan Belajar Mengajar dilangsungkan, ia merasan kesepian karena tidak ada Lyra yang biasanya cerewet melulu.

****

"Asal lo tau, ga bisa ngelupain lo. Karena luka yang lo buat sangat membekas. Itulah alasannya gue gak bisa ngelupain lo." Lyra berbicara pada dirinya sendiri.

"Ini, mbak. Pesanannya." Seorang pelayan cafe wanita memberikan pesanan yang dibeli oleh Lyra, hanya memesan makanan ringan Mozarella cheese stick dan coklat panas saja.

"Hujan, bukan berarti langit sedang menangis, atau bahkan sedih kan, Mbak?" Tiba-tiba Lyra berkata kepada pelayan Cafe itu.

Pelayan itu mengernyit, "Hah, saya mbak?" Tanyanya menunjuk ke wajahnya sendiri, lalu dibalas anggukan oleh Lyra.

"Iya. Jadi, kalau kita yang menangis, belum tentu sedih kan mbak? Bisa jadi karena senang atau terharu, kan?" tanya Lyra lagi.

Pelayan itu tersenyum kecil, "Iya, mbak. Lihat diluar sana, hujannya sangat deras, begitu mengeluarkan air yang cukup deras juga. Mendung lalu disusul hujan, mengajarkan kita bahwa kita tidak boleh menahan sesuatu, jika ingin mengeluarkannya, keluarkan saja, seperti hujan. Ia tidak ragu untuk mengeluarkan airnya,"

Pelayan itu duduk di samping Lyra, dan Lyra hanya meresapi kata demi kata yang dilontarkan oleh pelayan cafe itu.

"Mereka mengeluarkan apa yang tidak ingin ditahan. Dan seperti mempertahankan seseorang, kita harus berjuang, seperti mendung yang tak kunjung hujan, airnya diatas sama masih tertahan, belum diluapkan olehnya."

****

"Lyra?! kamu dari mana saja?" Suara yang lantang itu sudah menusuk gendang telinga Lyra.

"Lyra...Lyra pulang sekolah, Pa." Jawab gadis itu sedikit gugup, ia paling tidak bisa berbohong jika kebohongannya ditujukan kepada Alex.

"Jangan bohong, kamu tidak pandai bohong!"

"Papa tadi udah dapet telepon dari guru BK lo, katanya lo bolos lagi, kan? Jangan mentang-mentang anaknya pemilik sekolah bisa seenaknya aja lo!" cerocos Rayna yang ikut memarahi Lyra.

"Udah berapa kali Papa bilang, jangan bikin masalah lagi!" ketus Alex.

Lyra menundukkan kepala, "Maaf, Pa. Lyra tadi cuma..."

"Sudah, Papa sudah nggak tahan lagi. Tadi setelah guru BK mu telepon, Papa langsung menelepon keluarganya Aldi, dan memastikan pernikahan kalian akan dilaksanakan 1 bulan lagi!"

"Tapi, Pa. Itu gak kecepetan?"

"Gak usah ngebantah!" Emosi Alex sudah diujung tanduk, entah ia mengambil keputusan dengan amarah, ataupun sudah memikirkannya dengan matang.

Five Years Apart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang