Enam : Gugup

1.3K 73 14
                                    

"Kok rasanya deg-degan ya..." --Khanza.
.
.
.

"Sumpah ya, kalian berdua tadi diajak gak mau. Eh malahan udah sampai ditempatnya kegirangan gak ketulung, kayak bocah aja," gerutu Rafli yang berjalan menuju kedua orang didepannya.

Mereka bertiga berjalan bersisian dengan Khanza yang berada diantara mereka. Pusat perbelanjaan yang berada di Jogja itu semakin siang semakin ramai. Pengunjung yang kesini hanya untuk kepentingan kunjungan pariwisata rela mengantri dan menerobos panasnya Daerah Istimewa Yogyakarta, demi mendapatkan oleh-oleh yang mereka inginkan.

"Kita jalan diseberang kiri saja," lagi-lagi Rafli yang membuka suaranya.

"Oke," jawab Arsya dan Khanza langsung.

Beragam makanan tersaji diseberang kiri jalan. Seakan-akan berkata 'makanlah aku.' Khanza kembali melihat dua laki-laki yang berada didekatnya tersebut, sambil memegang perutnya.

Arsya yang menyadari bahwa Khanza seperti kelaparan pun membuka suaranya, "Kamu lapar?"

Dua orang yang disamping Arsya menggelengkan kepala.

"Bukan kamu Raf, tapi tuhh..." Arsya melirik Khanza yang memegang perutnya, diikuti dengan Rafli.

"Yakin Za? enggak mau makan?? makanan disini tuh enak-enak, perut dijamin puas deh. Emm maknyuss."

"Beneran? Bang, omegat. Gue jadi laper. Makan yukkk."

Khanza langsung menarik tangan keduanya, untuk mengikuti langkah menuju warung lesehan yang sedari tadi menggoda perutnya.

"Jangan tarik-tarik bukan muhrim."

"Oh, oke. Maafkan gue." ucap Khanza.

Tapi tangan yang satu tidak terlepas malahan digenggam oleh laki-laki yang satunya.

Khanza melirik tangannya yang masih digenggam oleh Rafli.

"Lepasin gak bang? kalau gak, gue laporin nih ke Alma. Biar ta'aruf-nya dibatalin aja,"

Saat mendengar nama Alma disebut, sedetik kemudian Rafli langsung melepaskan genggamannya.

"Yok, makan," ajak Khanza kepada dua laki-laki tersebut.
.
.
.

Hanya dentingan sendok makan dan suara remaja yang sedang bergosip ria terdengar ditelinga Khanza kali ini.

Saat mereka makan tidak ada yang memulai pembicaraan apapun, mungkin karena Rafli dan Arsya menjunjung sikap makan yang sopan dalam agama, yaitu tidak boleh berbicara saat makan. Selain membuat tersedak juga tidak baik untuk kesehatan, maklumlah mereka berdua kan dokter.

Mereka sudah menyelesaikan makan, "Alhamdulillah, akhirnya kenyang juga. Dari pagi ngerjain tugas sama Tania sampai otakku mau jebol, dan kenyang adalah balasannya, uuu... Apalagi ditraktir, itu mah mantep banget."

"Curhat apa ngode biar dibayarin?"

"Dua-duanya bang, kayak gak tau Khanza aja sih. Bang Zaky sekarang udah pergi duluan ke kampung halaman dan Khanza sendirian disini. Otomatis ATM berjalan hilang," perempuan itu berbicara panjang lebar lagi.

"Iy deh ditraktir, btw Zaky mau nikah kan, terus gue udah ta'aruf. Jadi kapan giliran Lo Ar??."

Khanza langsung tersenyum, mengucapkan syukur dalam hati karena uang makannya hari ini tidak berkurang. Berbeda dengan Arsya kini dia bersikap biasa-biasa saja saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut sahabatnya itu.

"Kapan-kapan, doain aja." Jawab Arsya singkat.

"Oke, gue doain semoga berjodoh deh sama orang yang disamping gue."

Uhukkk...uhukkk...

Khanza terbatuk-batuk saat meminum minuman yang tinggal setengah.

"Apaan sih bang, gaje tahu enggak!!"

Rasanya pipinya terasa panas, semoga deh jodoh, gue udah angkat tangan untuk mengejar doi, batinnya berbicara.

"Gaje kok mukanya merah," Rafli berbicara dengan tersenyum.

Jika dia punya pintu kemana saja Khanza pasti akan segera menghilang dari sini, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menurut wajahnya dengan tas ransel kecilnya.

.

.
.

Sinar matahari mulai terbenam dari barat. Kini seorang perempuan tengah duduk di bangku balkonnya, magrib akan segera tiba.

"Assalamualaikum," dari bawah terdengar suara pintu diketok sambil mengucapkan salam.

Khanza turun dari lantai dua, melangkah untuk membukakan pintu.

"Waalaikumsalam," Dia terkejut akan siapa yang berdiri di depannya ini, tapi dia segera menutupi keterkejutannya, "eh... ada temennya Abang Zaky, ada apa ya?"

"Titipan dari Ummi," Arsya menyodorkan wadah berisi makanan kepada Khanza.

Khanza hanya bisa tersenyum kikuk dan menerima wadah makanan tersebut, "Terima kasih."

"Gak mampir dulu?" tawar Khanza.

"Tidak"

Khanza menutup pintunya setelah Arsya menolak untuk mampir. Tapi beberapa saat kemudian Khanza membukanya lagi dan untungnya orang yang dicari masih disana. Dia menatap orang didepannya.

Degg...
Bukan muhrim Khanza, gak boleh tatap-tatapan!! dia langsung mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Ohh..ehhh... Itu tadi bang Zaky telpon katanya aku disuruh nebeng sama kamu besok. Gak sendirian kok ada Alma, Tania, sama bang Rafli juga. Gimana? boleh?" tanyanya dengan sedikit gugup.

Arsya memikir-mikir sebentar lalu berkata, "Oke. Boleh"

"Doubel thanks deh.

Arsya hanya mengangguk kepalanya lalu pamit pergi. Khanza menutup pintu lagi saat melihat Khanza sudah memasuki rumahnya yang berada tepat disebelahnya.

"Kok rasanya deg-degan ya..." Batinnya sambil memegangi jantungnya yang berdetak cepat. Badan Khanza pun merosot kebawah.

"Kapan-kapan gue kedokter aja, siapa tahu gue punya penyakit jantung."

Bersambung...

Deg...degg...ser...
Cieee yang jatuh tangga, eh cinta maksudnya.

Vote and comen???

[Instagram : anisaa.fitrii_]

Namamu Dalam Sujudku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang