#16

6 1 0
                                    

#jof_kemal
-Ajanee-




Keseharian Janee selama beberapa bulan terakhir, kini disibukkan oleh pekerjaan di tempat makannya. Mulai dari merancang menu yang sekiranya akan menarik pengunjung untuk datang ke tempatnya, mengatur keuangan, berbelanja bahan makanan, hingga membereskan tempat makannya itu. Pegawainya kini mulai bertambah, membuat pelayanan di Dicha pun meningkat. Ditambah lagi ada seorang volunteer yang tanpa cuma-cuma sering membantu Janee di Dicha.

Azka. Si dosen muda, dosen sang adik yang kini seolah menjadi pelanggan tetapnya Dicha. Padahal kurun waktu perkenalan mereka hanya sebentar, mungkin... satu bulan? Bahkan Azka sering menggantikan pegawai Janee untuk sekedar melayani pelanggan di tempat kasir. Sebagai service tambahan pada pelanggan, service dari kasir tampan, katanya dengan begitu percaya diri. Pede betul, pikir Janee. Tapi, memang Janee mengakui semenjak Azka sering makan di Dicha bahkan menjadi petugas kasirnya, Janee merasa pengunjung di tempat makannya itu menjadi semakin ramai. Semakin ramai oleh kaum hawa.

Janee hanya bisa tersenyum melihat pelanggannya berebut menuju meja kasir untuk membayar pesanan mereka, untuk sekedar menatap dan berbincang tipis dengan si dosen muda itu. Bahkan Lani, adik Janee pun termasuk diantara kaum hawa yang tujuan datang ke Dicha selain untuk makan itu adalah untuk memanjakan matanya. Tapi bukan berarti pelanggan-pelanggannya itu datang hanya karena adanya Azka di sana. Mereka pun datang memang karena mereka menyukai hidangan yang disajikan oleh Dicha, tempat yang cozy, termasuk juga sikap para pegawai dalam melayani pelanggan. Jadi, ya, sambil menyelam minum air mungkin. Sambil memuaskan perut sekalian cuci mata, begitu kalau kata Lani dan teman-temannya. Lahiriah dan batiniah terpenuhi.

Janee sempat bertanya pada Azka di sela-sela Azka melayani pelanggan di kasir, "Pak,"

"Jangan panggil bapak lah. Kamu mau panggil saya abang, mas, akang, bebas deh asal jangan bapak. Terlalu formal," Potong Azka.

Janee tertawa, "Kan bapak dosen. Hmmm.. okay, Jani panggil... akang lah ya?" Azka mengangguk. "Kang Azka emang gak malu jadi kasir gini? Kan akang dosen, pasti pengen lah terlihat wibawa di depan mahasiswanya."

Azka hanya tertawa kecil merespon pertanyaan Janee, "Kenapa saya harus malu? Saya masih wibawa kok jadi kasir."

Janee memutar kedua bola matanya. "Haha. Gak harus malu lah, Jan. Ya, mudah-mudahan aja ada yang terinspirasi dari saya."

Keren memang orang ini, pikir Janee. Dia tidak pernah malu untuk membantu orang lain. Sekalipun orang itu baru dikenalnya. Janee selalu takjub soal kepribadian Azka. Padahal Azka itu masih muda, diberkahi otak yang sangat pintar, ramah, tampan pula. Tapi semua hal itu tidak menjadikannya seseorang yang besar kepala. Azka tetap low profile. Janee beberapa kali mendapatinya memesan nasi box dari Dicha untuk diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Tidak pernah habis rasa kagum Janee pada sosok Azka ini.

***

"Teh, punten, ada Jani gak?"

Sesosok perempuan berambut panjang terlihat tengah mencari Janee di tengah-tengah pengunjung Dicha.

"Eh, teh Aurel," Oh, ternyata Aurel. "Teh Jani lagi beli bahan teh, kebetulan ada bahan yang kurang katanya tadi."

"Oh. Masih lama gak ya kira-kira? Saya nelpon Jani gak diangkat terus."

"Enggak kayaknya teh, bentar lagi juga pulang. Soalnya udah berangkat dari satu jam yang lalu."

Aurel mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya udah, saya nunggu di sini boleh ya?" Tunjuk Aurel pada salah satu kursi kosong di sebelah kirinya.

"Boleh boleh, teh. Teh Aurel mau sekalian pesen apa?"

"Strawberry smoothies aja deh."

Tidak lama berselang dari percakapan Aurel dengan pegawai Janee, Aurel yang tengah duduk menghadap ke arah jalan itu melihat sebuah mobil berhenti dan terparkir di depan Dicha. Janee turun dari mobil tersebut, dan saat Aurel menyadari itu adalah Janee, ia segera melambaikan tangannya pada Janee. Janee yang menyadari kedatangan Aurel ke tempat makannya itu pun membalas lambaian tangan Aurel. Tapi Aurel cukup penasaran dengan mobil itu, karena mobilnya terlihat asing, baru pertama kali Aurel melihat mobil itu. Sebelumnya Aurel mengira Janee tengah berbelanja ditemani Azam.

Saat seorang laki-laki turun lewat pintu sebelah kanan mobil itu, Aurel mengeryitkan dahinya. Otaknya mulai memproses identitas laki-laki tersebut. Aurel betul-betul tidak mengenali laki-laki itu. Janee dan laki-laki itu berjalan bersamaan mendekati ke arah Aurel. Badannya tinggi, proporsional, dan ya... tampan. Aurel mulai menilai laki-laki yang datang bersama sahabatnya itu, ia terlihat  membawa belanjaan yang cukup banyak. Rasa penasarannya kini semakin bertambah setelah ia menilai secara kasar laki-laki itu.

"Udah lama?" Sapa Janee.

"Udah setaun gue nunggu." Jawab Aurel yang selanjutnya dibalas pukulan kecil oleh Janee.

"Bentar, ya, Rel. Pak--" Kalimat Janee terhenti setelah melihat laki-laki di sampingnya menatapnya dengan tatapan cukup tajam. "Eh, kang, hehe," Laki-laki itu secara otomatis merubah tatapan tajamnya dan tersenyum kecil pada Janee. "Simpen ke dalem dulu, yuk." Laki-laki di sampingnya mengiyakan dan membawa semua hasil belanja Janee ke dapur.

Setelah sepuluh menit Aurel menunggu ditemani strawberry smoothiesnya, Janee akhirnya datang masih ditemani laki-laki tadi. Bagaimana rasa penasaran Aurel tidak semakin bertambah melihat keduanya begitu akrab?

"Sorry, ya, sis lama hehe. Oh, iya gue lupa. Kang kenalin ini Aurel, temen Jani."

Aurel dan Azka saling bersalaman, saling mengenalkan namanya satu sama lain.

"Jan, saya ke kampus dulu ya."

"Eh, iya, kang. Makasih banyak ya udah nganterin."

"Sama-sama.. Nanti saya kabarin, ya, kalau saya udah sampe. Duluan, teh Aurel." Pamit Azka sambil menganggukkan kepalanya yang selanjutnya dibalas anggukkan juga oleh Janee dan Aurel.

"Siapa, Jan?" Tanya Aurel langsung menginterogasi Janee begitu Azka meninggalkan keduanya.

"Lo inget gak dosen yang sering diomongin Lani?"

"Itu????" Janee mengangguk, "Gila itu sih masih muda. Gue kira umur doi di atas bang Opal. Pantes adik lo kesengsem banget."

"Yoi. Eh, mana lo katanya mau ngobrolin sesuatu? Soal lo sama..... si jangkung ya?" Tanya Janee dengan nada meledek.

"Hm.. kayaknya lo yang harus cerita duluan ke gue deh. Ada apa lo sama kang Azka itu? Sampe doi bilang bakal ngabarin lo kalo udah sampe, hah?" Tanya Aurel sambil memegang dagunya seperti tengah menginterogasi Janee.

"Kagak ada apa-apa gue sama dia. Ya mungkin dia iseng doang bilang gitu."

Aurel hanya memicingkan kedua matanya dan memasang wajah tidak percaya seakan Janee tengah menyembunyikan sesuatu.

"Gue gak ada apa-apa sama dia, Aurelie. Lo gak percaya sama gue?"

Aurel menggelengkan kepalanya. "Sumpah deh, Rel. Nih untuk ketiga kalinya nih ya gue bilang, gue gak ada apa-apa sama dia."

"Tapi kan dia ganteng, Jaaaan."

"Terus kalo dia ganteng, gue harus ada apa-apa sama dia? Oke laaah gue akui dia ganteng, ramah, low profile. Dan gue juga berani taruhan, kalo lo mulai deket sama kang Azka, lo pasti bakal suka sama dia. Ya so far, gue sih kagum sama--"

Aurel tiba-tiba memotong kalimat Janee, "Tuh kaaaaan. Lo suka sama diaaaaa."

"Duh, bukan suka, Aurel. Gue cuman kagum doang. You know kagum? I adore him. Udah gitu doang."

"Alah. Lo gak tau apa suka itu berawal dari kagum?"

"Oooooooooh. Jadi lo awalnya kayak gitu ke Tama?" Ledek Janee.

"Lah. Kok jadi gue sama Tama sih? Itu beda bahasan ya, tolong."

"Beda bahasan karena lo emang suka kan sama dia? Yang mau lo obrolin itu ada hubungannya sama Tama kan? Ngaku deh lo, udah kebaca sama gue."

"Kok jadi gue yang diinterogasi sih??"

Kemal's StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang