7| Tanpa Rasa

43 8 6
                                    

Kak Satria tertawa setelah Dinar bilang begitu.
"Gua ngga nyangka lo bakal ngomong kaya gitu!"

Aku menabrakkan kepalaku ke meja. Ya ampun, memalukan sekali!

"Kalila? Kamu kenapa?" Rianna bertanya dengan nada pura-pura. Habisnya, dia terlihat ingin tertawa juga.

"Tidak kenapa-kenapa," kataku dalam posisi ini. Aku menendang kaki Dinar yang terjangkau oleh ujung kakiku.

Dinar mengaduh.

"Kenapa sih?" Nada Kak Satria sudah terdengar normal. "Ngga apa-apa kali, udah sah juga."

Aku mengangkat kepalaku. Mataku langsung bertemu pandang dengan Dinar.

"Kamu memangnya sudah berapa lama menikah sih?" Rianna bertanya padaku. "Masih malu-malu begitu."

"Februari nanti setahun." Suara Dinar terdengar hambar.

Aku tertegun. Nadanya berubah drastis. Dia terdengar seperti kecewa, seolah pernikahan ini tidak sesuai dengan ekspetasinya.

Aku juga berpikir begitu.

Pernikahan yang kami jalani terlihat alot dan tidak ada kemajuan. Keadaannya selalu sama sejak awal kami menikah, bahkan sama sejak kami bertemu kembali setahun yang lalu.

Kak Satria dan Rianna sama-sama tidak menanyakan banyak hal lagi saat Dinar mengatakan hal itu. Kami memilih diam, dan memakan makanan masing-masing, kecuali Kak Satria yang hanya mengemil makanan ringan ukuran besar.

Setelah berpisah, Rianna hanya berbicara seperlunya padaku. Aku termenung saat ketua angkatanku masuk dan mengatakan dosen kami tidak hadir.

Itu sudah terdengar sangat biasa dan normal.

Sampai jam pulang, Rianna pergi duluan dan aku segera berjalan ke parkiran.

Dinar ada disana, dengan ponsel di tangannya. Setelah melihatku, dia menyakukan ponsel miliknya dan menyuruhku masuk.

Dengan ekspresi yang sama sekali tidak terbaca.

Ekspresi yang sama saat dia datang pertama kali ke rumahku setelah sekian lama sejak kami lulus.

Pada jam tujuh malam dia datang bersama keluarganya. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi saat aku dipanggil untuk datang ke ruang tamu, aku di beri tahu sekilas.

"Kamu masih ingat nak Dinar kan?"

Aku mengangguk pada ayahku.

"Kami ingin kamu menjadi istri adik saya," Kakak Dinar memulai. "Saya harap kamu mempertimbangkan dia."

"Kalila, bagaimana kalau kamu mengobrol dengan nak Dinar berdua di halaman depan? Ayah mau bicara dengan Ayahnya."

"Baik, ayah."

Ayah menatap ke arah Dinar. "Kamu boleh membawanya keluar, bicarakan apa yang kamu ingin bicarakan."

Walaupun Ayahku bilang harus mengobrol di halaman depan, aku membawanya sampai taman komplek yang tak jauh dari rumahku.

Jujur, aku tak tahu darimana harus memulai. Sepertinya dia juga. Dia hanya diam saja sedari kami sampai di taman.

Angin malam terasa dingin menusuk. Lampu taman berpijar redup, dan air mancurnya sudah lama mati.

"Kita dijodohkan."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

"Aku tidak melmarmu," Dinar menatapku dalam remang. "Orangtuaku yang melamarmu untukku. Orangtuamu sudah diberitahu sejak lama. Dan malam ini adalah lamaran resminya."

"Malam ini?"

"Orangtuamu menyetujuinya, dan bagi orangtuaku itu cukup."

"Tanpa memberitahuku?"

"Kau hanya perlu menyetujuinya."

Aku membalas tatapan Dinar yang terlihat tanpa perasaan dengan kesal.
"Jadi, kita tetap harus menikah walau sebenarnya aku ataupun kamu tak mau?"

"Benar."[]

😳
5 Juli 2018

embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang