Sudah setahun setelah kejadian di taman itu. Dinar tidak pernah mengungkitnya, begitu juga denganku.
Karena aku malu pada diriku saat itu.
Lamaran malam itu selesai dengan baik. Di bulan Februari, dua bulan setelah lamaran, pernikahan di langsungkan. Tidak banyak teman-teman kami semasa sekolah yang diundang. Jadi, tidak banyak yang tahu. Apalagi teman di kampus.
Aku saat ini sedang memasak makan malam sambil sesekali melirik Dinar yang sedang menonton televisi.
"Hei, kamu suka pasta?"Dinar mengangguk. "Iya, kamu buat pasta?"
"Bisa dibilang, begitu."
Dia tidak menjawab lagi sampai aku mengantarkan makanan kepadanya.
"Makan."
Dia menerima sepiring pasta buatanku. Lalu memakannya. Tanpa banyak bicara, seperti biasanya.
Tiba-tiba dia bicara. "Kamu tahu tidak kalau SMA kita mengadakan reuni angkatan?"
Aku menggeleng, tidak tahu.
"Coba tanya temanmu, aku juga tahu dari temanku."
Aku menurut, mengambil ponsel. Sepertinya, aku harus sering-sering mengecek ponselku karena pesan yang masuk sudah terlalu banyak. Setelah menemukan kontak yang aku cari, aku terdiam.
"Lebih baik telepon atau kirim pesan saja?""Kirim pesan, ajak ketemuan."
"Ribet." Aku mengklik tombol telepon. Beberapa saat setelah tersambung, teleponku diangkat.
"Kalila! Tumben telepon, kangen?"
"Salam dulu, Ratri."
Terdengar tawa di seberang sana. "Maaf, assalamualaikum, Kalila."
"Waalaikumsalam."
"Jadi kenapa? Oh iya, suamimu baik-baik saja kan?"
Aku menjauh dari Dinar. Dia pasti mendengarnya karena aku menggunakan loudspeaker.
"Dia kapan sih, tidak baik-baik saja? Aku meneleponmu karena aku ingin bertanya."
"Apa?"
"Angkatan kita, reunian?"
"Oh iya, aku lupa memberitahumu."
"Jadi benar?"
"Yea. Kamu tahu darimana? Oh iya, suamimu kan angkatan kita juga."
"Berhenti memanggil dia dengan sebutan itu! Dulu kamu memanggilnya dengan nama kan?"
"Tidak apa-apa dong, kenapa kamu sewot?"
"Habisnya,"
"Dengar, kalian sudah bersama cukup lama. Sampai kapan kamu bersikap seperti itu?"
"Tapi aku melayaninya sebagaimana seharusnya."
"Bukan seperti itu maksudku, Kalila. Masa begini saja kamu tidak mengerti?"
"Aku mengerti,"
"Lalu?"
"Aku hanya tidak siap."
"Mau sampai kapan kamu begitu? Dua tahun? Lima tahun? Sepuluh tahun?"
"Aku tidak tahu, aku.., ah sudahlah kamu selalu mengangkat topik yang sama ketika aku meneleponmu."
"Aku tidak suka kamu seperti itu terus, Kalila. Dia suamimu. Dinar itu suamimu. Kalian tinggal serumah hampir satu tahun. Apa kamu tidak kasihan karena dia tidak pernah mendapat haknya?"
"Jangan keras-keras."
"Percuma. Aku yakin, walaupun sekarang kamu menjauhkan diri agar tidak terdengar, dia pasti diam-diam mendengarkan obrolan kita."
"Menguping?"
"Kalian tidak boleh merahasiakan sesuatu satu sama lain, jadi dia tidak bisa disebut menguping."
"Terserah, aku tutup teleponnya."
"Silahkan, aku juga ada urusan. Jangan lupa datang ke reunian. Untuk waktunya, tanyakan saja padanya. Semoga beruntung."[]
😵
18 Juli 2018
