1| Panggilan

148 13 9
                                    

Aku dan dia bukanlah anak-anak lagi. Tahun ini umurnya genap dua puluh satu tahun, dan begitu juga denganku. Kami bukanlah sepasang kekasih yang tidak tau kapan akan melanjutkan hubungan yang sudah ada. Kami sudah menikah.

Tapi tidak ada dari orang-orang kampus yang tau.

Bukan karena suatu kecelakaan, tapi karena kesepakatan kedua orang tua kami. Mereka memilih menikahkan kami secepatnya ketimbang membiarkan kami mengenal satu sama lain lebih jauh.

Alasannya,
Aku dan dia adalah teman semenjak sekolah menengah.

Tidak banyak yang aku tau dari dirinya. Walaupun kami pernah sekelas selama tiga tahun hubungan kami hanya sebatas ketua kelas dan wakilnya.

Dia ketuanya, dan Aku wakilnya.

Pertama, Aku tak suka padanya. Dia benar-benar orang yang menyebalkan. Dia tidak tahu apa itu jarak personal. Apa yang dia inginkan harus dituruti.

Akan kuceritakan.

Suatu hari, Aku dan Dia disuruh membawakan buku di perpustakaan.

Karena kami adalah ketua dan wakil kelas, maka kami yang harus melakukan tugas itu.

Tanpa banyak bicara, kami pergi ke perpustakaan, berdua.

Di perpustakaan sepi. Tidak ada penjaga perpustakaan. Walaupun begitu, kami tetap mengambil buku paket yang disuruh. Dan Aku bilang kepadanya, kita hanya tinggal meletakkan sebuah catatan.

Tentu saja membawa nama guru yang menyuruh kami.

Saat menemukan buku yang dicari, dia bilang kalau aku harus membawa tiga perempat buku yang ada.

Yang benar saja.

Tentu Aku marah. Mana mungkin seorang perempuan harus membawa barang lebih banyak dari laki-laki? Dia juga ketua kelasnya.

Aku katakan semuanya.

Aku juga memberikan beberapa buku ke tumpukan yang akan dibawanya. Dia awalnya tidak terlihat menolak, tapi Aku salah.

Dia mengembalikan buku yang tadi Aku berikan. Dan juga,

Mengusap rambutku dengan lembut.

Tidak lama, dia mengacaknya.

Dia berkata kita berdua harus cepat. Aku hanya mengangguk, dan membawa tumpukan buku yang jauh lebih tinggi dari yang dia bawa. Sepanjang jalan, Aku terus-terusan mengomel padanya dan dia hanya tersenyum seperti biasanya.

Senyum yang menyebalkan.

"Kalila?"

Suaranya tak pernah berubah. Sama, seperti dahulu. Suara yang membuatku tenang dan merasa nyaman. Sekaligus, membuatku merasa terperangkap.

"Kalila?"

Tangannya menggapai wajahku dan ibu jarinya mengusap pipiku dengan lembut.

"Kamu melamun?"

Aku bisa merasakan kehangatan tangannya. Tanganku terulur untuk menggenggam tangannya.

"Tidak, Aku tidak melamun."

"Kenapa masih belum tidur juga? Kan, sudah kubilang, kamu tidur saja duluan."

"Ini Aku sudah mau tidur."

"Mau kupeluk?"

Ya ampun, apa yang dia pikirkan?

Dan, tenggorokanku terasa kering saat dia menarikku kedalam pelukannya.

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang menggelitik perutku. Sensasi yang sedari dulu Aku benci.

Dia mengatakannya sembari tersenyum, dan membantuku untuk berbaring dengan perlahan.

Setelah itu, dia mengucapkan selamat malam dan mengecup keningku lama.

Aku merasa dadaku sesak. []

22 Mei 2018

🤔

embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang