15| Menemukan

32 7 2
                                    

"Jadi," kataku setelah kami duduk berhadapan. Ku tatap Kalila yang terlihat tidak tertarik dengan hal ini. "Tema apa yang akan kita ambil?"

Kalila mengetukkan pulpennya ke meja. Matanya menerawang ke luar jendela, dan dia menggumam pelan. "Bagaimana," Kalila berhenti sejenak. Pandangannya tetap ke luar jendela. "Bagaimana jika kamu yang memilih temanya, dan aku yang membuat naskahnya saja?"

"Kenapa?"

"Supaya cepat selesai," katanya. "Aku juga...,"

Aku penasaran dengan lanjutan kalimatnya, tapi dia malah berdiri, hendak pergi.

"Mau kemana?"

Kalila tidak menatapku sama sekali. Sembari membereskan barang-barangnya, dia berbicara dengan suara pelan. Pelan sekali. "Aku.., harus pulang cepat hari ini, maafkan aku."

"Tapi---"

"Kalau kamu sudah menemukan temanya, beritahu padaku."

Setelah itu, Kalila pergi. Aku termenung, kemudian memutuskan untuk pulang saja. Saat membereskan meja, aku menemukan sebuah pesan yang aku yakin sengaja ditulis Kalila entah kapan.

Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat.

.

"Kamu sudah datang,"

Kalila keluar dari rumah, menghampiriku yang masih berada di luar gerbang rumahnya. Rambutnya berantakan, dan matanya sayu. Lebih buruk daripada saat dikelas tadi.

"Kamu kenapa?" Tanyaku, sambil melepaskan helm dari kepalaku.

"Ayo masuk."

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya meraih selot gerbang, dan membukanya. Aku menyalakan mesin motorku lagi, dan memarkirkan motorku di dalam gerbang.

"Kalila, kamu kenapa?"

"Masuk saja dulu!" Kalila menjawabnya dengan tidak sabar, dan menarikku masuk ke dalam rumahnya.

Rumahnya tampak sepi. Setelah aku masuk pun, aku tidak merasakan tanda-tanda bahwa disini ada orang lain selain kami.

Kalila memaksaku duduk, dan dia mempertahankan posisinya, dengan tangan yang menekan bahuku.

"Kalila?"

"Bunda,"

Aku mengernyit. Tangan Kalila yang menekan bahuku bergetar.

"Aku tidak tahu harus cerita kepada siapa, Dinar. Aku..., Aku,"

Bibirku terkatup rapat, menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya.

"Apakah aku bukan putri yang baik untuk Bunda?"

Bundanya. Aku tidak terbesit sesuatu apapun. Yang ku tahu, Bundanya selalu memperlakukanku dengan baik. Beliau juga ramah. Tapi kenapa Kalila mengatakan hal yang seperti itu?

"Apakah aku terlalu sering membuat kesalahan?"

Aku meraih lengan Kalila, dan menggenggamnya. Pelan-pelan, aku membimbingnya untuk menatap mataku.

"Aku ada disini untuk mendengarkan ceritamu. Jadi, tenanglah."

Kalila mengangguk. Akhirnya, dia duduk di sebelahku.
"Bunda pulang ke rumah orangtuanya."

"Bunda, tidak akan kembali lagi. Bunda tidak ingin melihat aku dan Ayahku lagi. Bundaku.., pergi."

Aku mencoba mencerna kata-katanya. "Kenapa? Ada apa sebenarnya?"

"Bunda dan Ayah sebenarnya sudah sejak lama sering bertengkar. Aku tidak tau pasti apa yang mereka pertengkarkan. Tapi aku pernah menemukan ponsel Bunda. Ternyata..,"

"Bunda punya orang lain di selain Ayah."

Deg.
Mana mungkin?

"Dan ternyata, Bunda sudah pernah mengajukan surat cerai. Dan Ayah langsung menolaknya."

Aku mencoba bertanya, "Kamu tahu darimana?"

"Aku menemukan sepucuk surat di depan pintu kamarku pagi ini."

Jadi, karena itu sejak pagi dia tampak aneh?

"Kenapa Dinar? Kenapa?"

Aku refleks menarik tubuhnya ke pelukanku. Dia menumpahkan semua apa yang telah dia pendam selama ini di sana.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa kenapa KENAPA?!"

Hari itu, aku tahu sesuatu yang selama ini aku cari. Sifatnya yang tertutup mengenai dirinya, Ayahnya, Mamanya. Keluarganya.

Dan di hari itu juga, aku memutuskan untuk membuat Kalila bahagia, dan bangkit dari semua yang telah dia alami.

Semua.[]

💔
So, that's why

Sekarang mah telatnya sengaja:)

Sekarang mah telatnya sengaja:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14 Oktober 2018

embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang