12| Reuni

49 8 4
                                    

"Sudah siap?"

Aku mengangguk, dan memakai sepatu sambil berdiri. Tanganku menyentuh tembok, agar keseimbanganku terjaga.

Dinar meneliti aku dari atas sampai bawah.

"Kenapa?"

Aku melakukan putaran ringan. Blus dengan rok sebetis. Tidak ada yang aneh.

"Aku terlalu santai ya?"

"Tidak juga. Hanya saja aku tidak biasa melihatmu dengan setelan seperti itu." Dinar berdehem. Di wajahnya muncul semburat merah. "Cantik."

Untuk menyembunyikan kalau aku juga malu, aku menepuk punggungnya dengan keras.
"Ayo berangkat."

Dinar mengiyakan.

Di mobil, Dinar terlihat biasa saja. Tapi matanya yang tidak bisa berbohong itu melirik ke arah yang bisa membuatku mengernyit sendiri.

"Ada apa?"

"Ti.., tidak."

"Kalau ada apa-apa tidak usah di tutup-tutupi. Dasar lelaki."

"Memangnya kamu tahu apa yang kupikirkan?"

Aku menunjuk bibirku dengan jari telunjuk.

"Ah,"

Aku bersidekap. Pemandang di luar kaca tampak lebih menarik. "Kamu seperti tidak pernah mencium gadis sebelumnya."

"Memang belum."

"Tapi mantanmu banyak, tuh."

"Bahkan aku belum pernah berpacaran Kalila, apa wajahku terlihat seperti lelaki yang begitu?"

"Mungkin," aku sedikit terbatuk. Mengingat bau khas yang tidak kusukai saat bibirnya tempo hari menciumku. "Kamu masih merokok?"

Dia melirikku sejenak.
"Masih tercium memangnya?"

"Tidak terlalu, tapi cukup menggangguku."

"Aku sudah berhenti, sebenarnya. Tapi waktu itu aku ditawari rokok, jadi mana bisa kutolak."

"Bukan berhenti namanya."

"Aku sudah berusaha."

Dinar tidak mengatakan apapun lagi. Karena kami sudah sampai di sekolah kami dulu, tempat reuni kami.

"Sekolah ini jadi terasa sangat berbeda."

Dinar merangkul pinggangku. "Tentu saja. Sudah tiga tahun, mana mungkin tidak berubah."

"Kamu benar."

"Ayo masuk,"

Tanpa aku mengangguk pun, dia tetap membawaku masuk. Aku hampir tidak mengenali orang-orang disini. Mereka terlihat jauh berbeda dibanding saat SMA dulu.

"Kamu mencari Ratri?"

Aku menggeleng. "Ratri tidak mungkin datang secepat itu."

"Oh."

"Dinar!"
Seseorang melambaikan tangan ke arah kami--maksudku, ke arah Dinar. Memanggil agar dia kesana.

"Mau kesana?"

"Terserah. Kamu yang dipanggil kan?"

"Kalau begitu, ayo."

Aku tidak masalah dia mau menyapa temannya. Perempuan sekalipun. Tapi mengingat Dinar tidak dekat dengan perempuan dahulu, aku jadi lega. Setidaknya aku tidak perlu bersandiwara seperti istri yang tidak peduli.

"Apa kabar, Daffa?" Dinar menyalami laki-laki itu.

"Baik, bro. Lo?"

"Sama. Gua juga baik."

Laki-laki bernama Daffa itu menatapku. "Gila, udah bawa gandengan aja lo. Pacar?"

"Oh bukan," Dinar merapatkan rangkulannya. "Istri gua."

"Nikah muda lo?!" Katanya histeris.

Banyak yang menengok ke arah kami. Dia terlalu keras. Sialnya, beberapa juga teman Dinar dulu. Mereka semua ikut histeris. Aku tersenyum sambil mencubit pinggang Dinar dengan keras.
"Sakit, sayang." Bisiknya padaku.

"Nar, kenalin istri lo kenapa sih?"

"Seriusan ngga kenal lo, Daf?"

"Memangnya dia siapa?"

Aku merasa namaku dipanggil beberapa kali.

"Kalila!"
Ratri menghampiriku dengan tergesa. Napasnya tidak beraturan.

Aku melipat kedua tanganku di dada. "Baru datang? Kamu bilang sendiri kalau mau datang lebih awal."

Ratri nyengir. "Macet, Kal. Mau bagaimana lagi."

"Alasan."

"Betulan!"

"Ratri?"

Ratri menoleh ke sumber suara. "Hai, Daf!"

"Kalila? Jadi dia Kalila? Nar, Kalila istri lo itu, kec--"

Dinar membekap mulut Daffa dengan tangannya. Lalu dia membisikkan sesuatu ke Daffa. Daffa mengangguk-angguk. Setelah bekapannya di lepas, Daffa terkekeh.

"Pantesan, gua kaya familiar sama wajahnya. Sori, Kalila gua nggak ngenalin lo."

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku juga tidak mengenalimu."

"Wajar, kalau lo nggak ngenalin gua. Santai aja."

Ratri menggandengku. "Kal, cari makanan yang enak yuk!"

"Di pikiranmu hanya ada makanan, huh?"

"Sudahlah, ikut saja." Ratri mengerlingkan matanya. "Din, istrinya di pinjam dulu ya!"

Dinar hanya mengangguk samar.[]

🖖
18 Agustus 2018

embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang