5| Dahulu

50 10 12
                                    

Aku sedang membaca buku saat Dinar duduk di sebelahku.
"Kenapa setiap aku ingin mengobrol denganmu kamu selalu membaca buku?"

Aku menurunkan bukuku sampai sebatas dagu. "Apa?"

"Daripada membaca buku, lebih baik kamu mengobrol denganku."

"Memangnya kamu mau mengobrol tentang apa?"

Dia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangannya yang satu merangkul tubuhku.
"Apa saja."

"Oke," kataku. "Kenapa kamu tahu kalau aku waktu itu aku sedang tidak mood dan aku ada di UKS?"

Matanya tampak menerawang. Lalu dia menatapku. "Kamu sering begitu kan?"

"Masa? Aku sendiri tidak begitu ingat."

Kemudian, Dinar menghadap kepadaku, memulai ceritanya.
"Jadi, saat itu aku dengar kamu gagal ikut olimpiade ke provinsi."

Biar aku yang melanjutkan.

Empat tahun yang lalu.

Saat itu, aku dipanggil oleh guru. Tentu aku tahu jika itu berhubungan dengan olimpiade yang aku ikuti seminggu yang lalu. Kukira, aku lolos.

Aku jadi berpikir kenapa diriku yang dahulu begitu optimis.
Entahlah.

Saat mendengar bahwa aku gagal, aku kesal. Bukan sedih, atau ingin menangis.

Aku kesal.
Kesal karena aku terlalu optimis.

Moodku turun drastis dan aku memutuskan untuk tidak mengikuti kelas pagi itu. Dengan alasan aku sakit.

Aku berbaring di UKS hingga waktu istirahat. Untungnya, hari itu tidak ada orang yang butuh ranjang itu. Beberapa siswa hanya datang mengambil obat.

"Kamu disini,"

Suara itu terlalu familier. Mataku menatap seseorang yang tengah melepas sepatu diambang pintu dengan satu tangan dan tangan lainnya membawa kantung keresek.

Yang aku yakin berisi makanan.

"Untuk apa kamu kesini?" Tanyaku, setelah mengganti posisi, membelakanginya.

"Ku pikir, kamu lapar," Dia duduk di ranjang yang aku tiduri. "Jadi aku bawakan roti dan susu."

"Lihat aku."

Aku menoleh. Lalu duduk dihadapannya. Rambutku acak-acakan dan seragamku berantakan.
"Sudah."

Dinar mengambil roti. "Makan."

"Kamu tahu aku tidak suka roti."

"Makan atau aku cium?"

"Awas saja kalau kamu berani," kataku mengancam. Aku memakan roti yang dia sodorkan. "Demi ciumanku yang berharga, aku rela memakan roti yang kamu berikan. Puas?"

"Sangat," Tangannya mengusap kepalaku lembut. "Habiskan ya."

"Tuh, kan melamun lagi."

Aku merasakan tangan besar memelukku dari samping. Aku menyandarkan kepalaku ke dadanya. Dinar mengeratkan pelukannya.

"Kamu tidak dengar aku cerita tadi ya?"

"Dengar."

"Tapi kamu melamun."

"Kamu yang membuatku melamun."

"Hmm," Dia kehabisan kata-kata. "Kamu mau lakukan sesuatu untukku?"

"Apa?"

"Cium aku."

Aku menatap matanya yang berbinar berharap dicium.

Sedatar mungkin, aku menjawab.

"Tidak."[]

20 Juni 2018
😫
Telat update🙏
Maafkeun:((

20 Juni 2018😫Telat update🙏Maafkeun:((

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang