8| Lamaran

38 8 8
                                    

"Aku mau menolaknya saja," mataku menatapnya sendu dan beralih dengan cepat ke arah bintang di langit sana. "Kamu terlihat tidak suka dengan ini, aku juga tidak."

"Aku hanya tidak suka cara orangtuaku agar kita menikah," suara tawanya yang hambar terdengar. "Di jodohkan. Memangnya mereka pikir aku apa?"

Dinar menarik tanganku yang ada di jangkauannya. Aku bisa merasakan betapa hangat tangan yang ukurannya jauh lebih besar dari tanganku itu.
"Tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan orangtuaku begitu saja, Kalila."

Aku termenung. Dalam genggaman tangannya yang terasa hangat, hatiku ikut berdesir.

Bahkan setelah lima tahun berlalu, perasaanku padanya masih sama.

"Hei," Kakiku menjangkau tanaman yang ada di sebelah bangku taman. "Kalau kamu bilang begitu, ayo kita coba saja."

"Kamu mau?"

"Alasanku juga serupa denganmu. Aku tidak mungkin menolak permintaan orangtuaku begitu saja."

"Dengar, ini pernikahan. Kamu tidak bisa bilang coba-coba di dalam hubungan sehidup semati."

"Aku tahu," Aku tersenyum padanya, dengan mata yang berkaca. "Karena aku menyukaimu, jadi sisanya kuserahkan padamu."

"Kamu? Menyukaiku?"

"Kamu meragukanku?"

"Ah, tidak." Dia menyugar rambutnya dengan kasar. "Aku tidak meragukanmu, aku..,"

"Aku takut kamu malah tersakiti karena hubungan kita kedepannya."

Aku menggeleng. Dadaku terasa sesak, dan aku kesulitan bernapas. Aku menunduk, menangis dihadapannya.

"Oh God, why are you crying?" Dinar menangkup pipiku agar wajahku tidak menunduk.

Aku malah semakin terisak. Bahkan sampai Dinar menarikku ke pelukannya, aku masih terisak.
"Don't cry, I'm here."

"Kenapa?" Tanyaku ambigu dengan suara serak.
"Kenapa kamu peduli?"

Dinar bergeming, mendengarkan.

"Kenapa? Walaupun aku seperti ini sedari dulu, kenapa kamu masih peduli denganku? Kenapa?"

"Ssh, sudah." Dinar mengusap punggungku dengan lembut.

Aku menangis sepuasnya. Ku hiraukan orang-orang yang berlalu-lalang melewati taman. Dinar terasa sangat nyaman. Aku tidak bisa berhenti menangis.

Aku tidak berpikir kemeja Dinar akan basah oleh air mataku, atau mataku yang sembab. Aku tidak berpikir bagaimana caranya aku memperlihatkan wajahku di depan keluarga kami saat kami pulang.

Setelah dirasa aku sudah bisa dibawa pulang, Dinar mengusap sisa air mataku yang ada. Dia tersenyum dengan manisnya, sampai aku tidak sadar saat bibirnya menyentuh keningku dengan lembut.

"Maukah kamu menikah denganku, Kalila?"

Aku terkejut saat dia mengeluarkan kotak beludru dari sakunya.

"Kamu bawa sampai sini cincinnya?"

"Ini rencanaku, jadi maukah?"

Aku mengangguk.

Setelah dia menyematkan cincin itu, dia mengajakku pulang. Selama di perjalanan pulang, kami berjalan bergandengan tangan. Sampai dirumah, semua orang yang ada disana terkejut saat melihat mataku yang membengkak, dan tangan kami yang saling bergandengan.

Tapi mereka semua tersenyum lega.[]

😗
12 Juli 2018

embrasséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang