Sriti berhasil kembali tegak karena Shabir sigap menarik tangannya tadi
Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, Shabir lebih dahulu bicara
"Tak perlu berterima kasih. Aku melakukan itu untukku, jika kau terjatuh dilantai, kau akan menyalahkanku lagi karena tas itu" Kata Shabir sambil duduk dikursinya tadi
"Apa aku bilang akan berterima kasih? Kau ini kemana saja tadi? Apa kau tidak tau, aku sengaja datang pagi ke stadion kau tidak ada, lalu aku kemari dan menunggumu lama sekali, kau pikir kegiatanku hanya mengikutimu saja? Kau pikir aku tidak lapar?"
"Hmmm seperti inilah jika singa marah" jawab Shabir
"Kau mengatakan aku singa?"
"Bukan! Lebih tepatnya macan!!" jawab Shabir sambil berdiri dan berjalan ke belakang
"Hei aku belum selesai bicara!" Sriti mengikutinya, ternyata Shabir menuju dapur
"Mau apa kau kemari?"
"Nona, apa menurutmu ini tampak seperti kuil sehingga aku akan melakukan puja disini?" Shabir mengambil beberapa peralatan masak
"Aku tau ini dapur, tapi..." nada bicara Sriti mulai menurun
"Apa kau akan memasak?" tanya Sriti lagi
"Rencananya sih aku ingin memanggangmu jika kau masih berisik" Kata Shabir, ia membuka almari dan melihat hanya ada 4butir telur ayam
"Hmm hanya ada ini saja" gumam Shabir
"Awas kau macam-macam denganku!" Ancam Sriti, Shabir pun meletakkan telur tersebut lalu mendekati Sriti yang berjalan mundur, hingga ia jatuh terduduk disebuah bangku
"Diamlah disini dan tenang!" Kata Shabir tepat didepan wajah Sriti, kemudian Shabir kembali ke dapur dan mulai memasak, tak peduli pada Sriti yang masih menggerutu
10 menit kemudian. Shabir keluar dari dapur dengan membawa dua piring berisi omelet telur.
Ia melihat Sriti sedang menatap hujan yang masih deras dari jendela yang terbuka sedikit.
"Makanlah dulu" Ajak Shabir, Sriti menoleh
"Aku tidak lapar" jawabnya
"Sudahlah jangan malu, ini"
Sriti yang sebenarnya memang lapar pun perlahan mendekat, tapi ia tak lantas memakan, ia perhatikan makanan itu betul-betul
"Aku tak memberi racun, jika aku ingin membunuhmu, dibelakang banyak pisau!" jawab Shabir yang mulai asyik menikmati makanannya
Melihat itu, Sriti pun mulai mencicipi
'enak juga ternyata' batin Sriti
"Bagaimana? Lezat kan?"
"Biasa saja, tapi ya terima kasih, setidaknya cacing diperutku tidak protes"
"Yang punya saja selalu protes untuk setiap hal" Sindir Shabir, Sriti hanya melirik sekilas dan melanjutkan makan, Setelah selesai ia berdiri
"Biar aku saja" Kata Sriti saat Shabir akan membawa piring ke dapur. Bagaimanapun juga, Sriti tetap bisa menghargai orang lain
"Hm oke" Shabir memberikan piring itu
Setelah mencuci piring, Sriti melihat kopi dan ia ingat beberapa hari lalu, Shabir sempat kesal karena kopi yang ia pesan tak seperti yang ia inginkan, Sriti pun mencoba membuatkan kopi, meskipun ia tak yakin Shabir akan meminumnya tapi ia hanya ingin membalas kebaikan Shabir itu
"Setidaknya ini bisa menghangatkanmu" Sriti memberikan secangkir kopi pada Shabir
"Kau yang membuatnya?"
Sriti hanya mengangguk
"Kau yakin bukan garam yang kau masukkan?" ledek Shabir
"Lidahmu belum mati rasa kan? Kau coba saja sendiri" Sriti meminum teh buatannya sendiri
'kopi iniiii.... dia bisa membuat kopi senikmat ini' batin Shabir
Sriti menaikkan sebelah alisnya, yang dijawab dengan isyarat tangan kanan Shabir yang menandakan ok
"Ya Tuhan, aku lupa memberi kabar ibu" Sriti pun mengambil ponsel dari tasnya
"Oh tidak, lowbatt!!! Hei, apa kau punya charger?"
"Punya tadi dirumah" jawab Shabir
"Jangan bicara kalau begitu" Sriti mendengus kesal
"Kau membawa hape?" tanya Sriti lagi, tapi Shabir tidak menjawab
"Shabir ji! Apa kau mendadak tuli?" Shabir masih tidak menjawab juga
Sriti kemudian mendekatkan bibirnya ditelinga Shabir
"Apa kauuu tuliiiiiiiiiiiiii!!!??????" Teriak Sriti, sontak Shabir terkejut dan langsung menutup kedua telinganya
"Kau ini maunya apa sih? Katamu aku tak boleh bicara, sekarang aku diam kau teriak-teriak, benar-benar kau butuh dokter!!!" Shabir pindah tempat duduk
"Kau ini polos atau tidak peka? Seharusnya mengerti maksudku"
"Sulit bagi orang lain mengerti maksudmu!!" jawab Shabir
Keduanya kini kembali diam
Hujan turun hingga malam, Sriti semakin gelisah
"Ibu maafkan aku membuatmu khawatir" Ucap Sriti
"Jika reda kita akan langsung pergi dari sini" Shabir menyahut, Sriti pun berjalan ke arahnya
"Ini semua karenamu! Lagi-lahi hariku rusak karenamu, apa kau ini punya dendam padaku ha???!!!"
"Cukup!!! Aku tak mengenalmu dan aku juga tak pernah bermaksud mengganggumu! Ini semua hanya kebetulan!"
Shabir mulai emosi
"Hh, kebetulan yang buruk! Entah apa yang
.."
"Duarrrr"
"Awwww!!!!" Suara petir menyambar dan disusul padamnya listrik
Sriti langsung jongkok dan menundukkan kepalanya
Tak lama, terlihat cahaya remang mendekat
"Berdirilah, tidak akan ada apa-apa" Shabir mengulurkan tangannya, sedangkan tangan kiri membawa lilin
Sriti mendongak dan perlahan berdiri
"Apalagi ini?! Mati listrik, hujan, hp mati, apa aku harus menginap disini juga, Ya Tuhaaannnn!!!" Sriti terus mengeluh
"Jika dengan mengeluh masalahmu selesai, silahkan mengeluh sepuasmu, lebih baik kau berdoa!" Kata Shabir
Sriti melihat sekeliling
"Shabir ji, awas kau jika memanfaatkan kesempatan!!! Jangan macam-macam!" Sriti menjauh
"Terserah" jawab Shabir singkat
Malam semakin larut, Sriti pun ternyata sudah pulas, sedangkan Shabir masih terjaga
Ia lagi-lagi menyelimuti Sriti dengan jaketnya lalu ia pergi ke dapur, ia menggelar beberapa lembar kertas surat kabar bekas dilantai sebagai alas tidur
-0-
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNSET at LAKE PALACE
RomanceKisah Sriti Balwan Pandey. Seorang fotografer dan Shabir Vikash Mehta. Seorang Pemain sepakbola yang romantis,lucu,banyak rahasia