Nyonya Mehta berdiri ditengah Shabir dan Sriti
"Nak, sindur bukan hanya sekedar bubuk merah. Itu adalah tradisi negara kita. Warna merah menandakan kekuasaan dan juga energi perempuan, seperti Sati dan Parvati" Nyonya Mehta mencoba menjelaskannya
"Sati adalah sosok wanita yang dianggap istri idaman karena rela mengorbankan nyawa demi kehormatan suaminya dan Dewi Parvati dipercaya bisa memberikan keberuntungan seumur hidup.
Selain sebuah tanda, sindur juga menyimbolkan kesetiaan seorang wanita pada suaminya dan harapan agar suaminya berumur panjang" Mendengar penjelasan itu baik Sriti maupun Shabir masih sama-sama diam, namun Sriti langsung ijin keluar kamar
"Ibu jadi bagaimana ini? Aku benar-benar tidak sengaja" Tanya Shabir
"Ibu tanya padamu, siapa dia bagimu?"
"Maksud ibu?"
"Kau sangat peduli padanya juga sangat mempercayainya bukan?"
"E bu, aku merasa dia gadis yang sangat bijaksana juga bisa dipercaya"
"Jadi, tanyakan pada hatimu sendiri dan temui dia"
Shabir menatap ibunya yang tersenyum, lalu ia bergegas menyusul Sriti
Ia melihat Sriti berdiri ditepi sungai dengan kedua tangan mendekap tubuhnya sendiri, ia melepas kemejanya sendiri dan memakaikannya pada Sriti. Gemericik air memecah keheningan malam itu
"Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja menumpahkan sindur itu" Ucap Shabir
"Aku tau. Terkadang memang kita melakukan hal-hal ceroboh tanpa menyadari apa yang akan terjadi kedepannya" Ucap Sriti
"Kau benar, terlebih saat kita memiliki keinginan, kita lebih mengejar ambisi kita, kemauan kita tanpa sadar jika akan ada orang yang terluka dengan hal itu"
"Hmmm kau sering mendengar kan jika tak ada kata terlambat untuk kita berubah dan memperbaiki semuanya"
"Ya, dengan ini kita harus belajar lebih memahami orang lain. Tapi ada satu hal yang aku tidak bisa pahami" jawab Shabir
"Apa?"
"Yang saat ini dihadapanku"
"Aku? Aku tidak memintamu memahamiku kan?"
"Kau memang tidak minta Sriti, tapi aku ingin belajar"
"Memang aku rumus matematika ?"
"Bahkan kau lebih sulit dadi rumus matematika, fisika, kimia dan lainnya"
"Baiklah tuan, terserah dengan penilaianmu"
Sriti melepas kemeja Shabir dan ganti memakaikannya pada Shabir
"Jangan sok jagoan dengan hanya memakai kaos dalam, ini hutan bukan pusat kota dimana kau bisa mudah menemukan klinik saat kau menggigil besok pagi" Tanpa sadsr Sriti mengancingkan kemeja Shabir itu hingga mata mereka beradu pandang, Sriti pun lalu menurunkan tangannya
"Maaf, aku akan kedalam"
Shabir menyusulnya
"Tunggu"
Keduanya berhenti disamping gubuk itu
"Mungkin hari ini aku tidak sengaja menumpahkan sindur itu, tapi selanjutnya aku akan memakaikannya setiap pagi padamu, dan sebelum itu aku akan meminta ijin pada ibumu dahulu"
"Maksudmu kau akan menikahiku?"
"Jangan bilang kau tidak mengerti"
"Aku mengerti. Menikah itu adalah saat sepasang laki-laki dan perempuan menggunakan pakaian bagus, lalu ada musik, tarian, dan makanan yang baaaanyaaaaaakkk, aku tak akan sanggup makan sebanyak itu"
"Ya Tuhan! Menurutmu itu arti menikah?" Shabir melepaskan tangan Sriti
"Memang apa lagi? Apa kau belum pernah datang ke pesta pernikahan? Tenang saja, aku akan mengajakmu dan kau bisa menikmati semuanya disana"
Sriti membelakangi Shabir sambil menahan tawa
"Sriti! Bukan seperti itu!" Shabir mengusap wajahnya
"Emmm kau menyesal akan menikahiku?"
"Tidak, hanya saja kau sudah 27tahun, seperti itukah pemikiranmu?" Shabir mengerutkan kening, Sriti tertawa lepas sesaat lalu kembali serius
"Tidak suniye, aku mengerti! Menikah bukan hanya janji dihadapan api suci, bukan hanya tentang sindur dan mangalsutra, tapi tentang komitmen untuk bersama, menikmati setiap suka dan duka, mendukung satu sama lain, dan tetap berpegang teguh pada janji. Aku mengerti" Sriti mengedipkan sebelah matanya
"Kau ini, benar-benar suka membuatku penasaran" Shabir menarik Sriti dan melingkarkan kedua tangannya dipinggang Sriti
"Tapi kau suka kan?"
"Tidak, aku membencimu"
"Yasudah biarkan aku pergi!" Sriti menurunkan tangan Shabir, tapi Shabir lebih kuat menahannya
#IkVariaa-Playing
Desiran angin malam membuat mereka saling mengeratkan pelukan, Sriti menyandarkan kepalanya didada Shabir. Dengan lembut Shabir mencium kening Sriti
Tangan kanannya perlahan naik ke punggung Sriti
"Suniye, jangan macam-macam"
"Aku tak melakukan apapun"
"Dasar" Sriti mencubit perut Shabir
"Kau mulai lagi mencubit perutku"
Kini Shabir memegang pipi Sriti
"Kau sangat cantik" bisik Shabir didepan wajah Sriti, bahkan nyaris tak ada jarak sehingga mereka bisa merasakan nafas satu sama lain
"Shab!" Seseorang menepuk wajah Shabir hingga ia tersadar dari lamunannya, Shabir menoleh
"A ayah?"
"Kenapa kau hanya berdiri disini? Ajak dia masuk, udara sedang tidak bagus" Kata Ayahnya, lalu masuk kedalam gubuk
'oh Shabir! Apa kau gila?!!! Apa yang kau pikirkan!!!!' batin Shabir memaki dirinya sendiri
Ia pun menghampiri Sriti yang berdiri ditepi sungai
"Sriti. Ayo masuk, cuacanya sedang tidak bagus" ajak Shabir
"Aku memikirkan ibu. Dia pasti sangat khawatir, aku ini selalu saja merepotkan orang lain" jawab Sriti
"Sss sudah, kita akan pulang pagi-pagi sekal besok, dan aku akan kerumah serta menjelaskan pada ibumu"
"Tidak suniye, aku yang bertanggung jawab untuk ini, kau tidak perlu mengatakan apapun pada ibu"
"Kau bersamaku, jadi kau tanggung jawabku"
Sriti kembali menatapnya
"Terima kasih" Ucap Sriti
Mereka pun masuk kedalam gubuk dan menemui orang tua Shabir
-0-
Dirumah Shika, Shakti dan Mrunal baru selesai dengan pekerjaan mereka dan keduanya juga sudah kembali ke kamar
"Uhh badanku sangat pegal" Shakti meregangkan otot-ototnya
"Aku tau, kau kan tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti itu"
"Tidak masalah Mrunal, justru aku bisa belajar bagaimana mengatasi pekerjaan rumah jika tidak ada pelayan" Shakti melepas baju pelayannya
"Shaktiii!!!! Kau mau apa?!" teriak Mrunal sambil membalikkan badan
"Ma maaf Mrunal, aku lupa, kau sendiri masih memakai baju itu, aku ingat kau ini Sahil, bukan Mrunal"
"Baiklah aku akan ganti baju dulu" Mrunal segera mengambil baju gantinya, meskipun ruangan kamar itu tak besar, tapi fasilitas kamar mandi tetap ada didalamnya
Setelah 20 menit Mrunal keluar, ia melihat Shakti sudah tidur dikasur. Sepertinya karena sangat lelah ia merebahkan diri dan tanpa sadar ia terlelap
"Kau pasti sangat lelah Shak" ucap Mrunal lirih
Ia pun melepas sandal Shakti yang masih dipakai, membenarkan posisinya, lalu ia menata alas tidur didekat almari untuknya
Keesokan paginya, Mrunal bangun lebih dulu karena harus bersiap apalagi ia harus berdandan seperti seorang laki-laki. Setelah itu ia langsung keluar kamar untuk mulai bekerja.
Sedangkan Shakti yang baru saja bangun, justru bingung melihat dirinya dikasur dengan pakaian yang masih sama
"Jadi semalam Mrunal tidur diawah?!! Shakti kenapa kau bisa pulas begitu? Kau tidak kasihan padanya?! Kau ini sahabatnya kan????" gerutu Shakti
Ia melihat jam dan segera bersiap
Sementara itu Mrunal sedang mencari tau dimana tempat Tuan Reihan menyimpan bukti bahwa ia yang menukarnya sehingga Tuan Mehta mengalami bangkrut
Ketika melewati depan kamar Shika, ia mendengar dua orang berbicara mengenai Kars Course
Mrunal menajamkan telinganya. Ia membungkukkan badan didepan pintu
"Sahil?" Paman Mohan datang
"Eh paman aduh maaf"
"Sedang apa kau disini?"
"Eee begini tadi nona Shika memanggilku jadi aku kesini"
"Oh tapi saat ini ia sedang bersama Tuan Ranvi, kakaknya yang baru pulang dari London"
"Emmm kalau begitu aku bersihkan saja halaman lebih dulu" Mrunal pun pergi
'aku harus secepatnya bertindak' batin Mrunal
-0-
Dirumah kecil yang ia Shabir sewa untuknya, Radhu memikirkan tentang Shakti
Ia menangis mengingat harus membohongi semua orang dengan berpura-pura lupa ingatan
Ia sangat mencintai Shakti, ia tak mau dijodohkan dengan putra tuan Reihan yaitu Ranvi, tetapi ayahnya terus memaksa hingga ia nekat pergi dari rumah
Saat itu Shakti melihatnya dan berusaha mengejar, namun sebuah truk besar lewat dihadapannya sehingga ia kehilangan jejak

KAMU SEDANG MEMBACA
SUNSET at LAKE PALACE
Roman d'amourKisah Sriti Balwan Pandey. Seorang fotografer dan Shabir Vikash Mehta. Seorang Pemain sepakbola yang romantis,lucu,banyak rahasia