Chapter 3: Viovio.
"I feel something in my heart when you are with me."
______
Hazel duduk di tepi kolam renang, untuk menikmati udara pagi. Peri yang ada pada telapak tangannya belum hilang, pasti akan berbekas. Bagaimana jika ia pulang ke Jakarta dan luka pada telapak tangannya itu belum sembuh. Keluarganya akan mengintrogasi dan semua rahasianya akan terungkap. Kemudian ayahnya akan mengirim ia ke sebuah pesantren lagi. Oh, Hazel sangat benci bila itu terjadi. Ia harus pulang ke Jakarta sampai luka itu benar-benar sembuh atau setidaknya hanya berbekas sedikit. Itu bisa ia tutupi dengan mengunakan baju lengan panjang sampai punggung tangan. Tapi kapan luka itu akan sembuh.
"Gue gak mungkin tinggal di sini sampai satu bulan. Ayah pasti bakalan jemput gue paksa."
Ia diam dan terus berpikir. Ia hanya mendapat izin tinggal di Batam selama satu minggu, lalu harus kembali ke Jakarta lagi. Ia juga harus mengatur rencana untuk acara talk show esok hari di sebuah Mall. Itu memang tujuannya kemari serta untuk liburan sebentar.
Gara-gara kejadian kemarin, ia harus satu hotel dengan Hanzel dan media terus mencari tau tentang perempuan yang melawan tahanan kabur kemarin. Apalagi identitasnya yang mengenakan masker hitam telah di ketahui jadi ia tak bisa leluasa keluar hotel. Ia juga tak mungkin keluar hotel dengan penampilannya yang lain karena ia tak mau bila Hanzel mengetahui identitas aslinya, ini semua karena kamar mereka berhadapan.
"Gue harus keluar dari kamar hotel sebelum dia keluar, kalo gak gue harus keluar setelah dia keluar."
Masalahnya menjadi semakin membingungkan sampai ia lupa dengan materi yang akan ia sampaikan pada esok hari. Hazel beranjak dari duduknya, ia mengembuskan napas berat lalu berjalan meninggalkan tepi kolam renang.
*.*.*.*
Hanzel terlihat ragu-ragu saat berdiri di depan pintu kamar hotel Hazel. Ia mengenggam sebuah kertas--- setelah sekian detik, kertas itu ia selipkan di bawah pintu, namun setelah itu ia merasa menyesal telah terlanjur menyelipkan kertas itu. Sebelum pintu terbuka atau Hazel datang, ia pergi dari depan pintu sambil mengendong tas ransel yang tak pernah lepas darinya.
"Kenapa aku melakukan ini," batin Hanzel sembari berjalan melewati lorong kamar hotel yang bernuansa retro.
Hazel melihat itu. Ia berdiri enam meter dari depan kamar hotelnya. Ia yakin jika Hanzel mengetahui kehadirannya dan langsung pergi setelah menyelipkan kertas di bawah pintu. Hazel berjalan cepat menuju kamar hotelnya karena ia penasaran dengan kertas yang diselipkan oleh Hanzel barusan.
Hazel membuka pintu dan langsung meraih kertas itu--- sebuah saran yang di tulis oleh tulisan tangan. Hazel mengernyit bingung dengan isi kertas itu tapi setelah membacanya dengan lamat, ia tersenyum karena Hanzel yang misterius itu ternyata khawatir tentang keadaanya. Tapi senyum itu pudar ketika ia menyadari jika Hanzel tak sadar bila khawatir kepadanya, buktinya Hanzel hanya menuliskan sebuah paragraf melalui kertas untuknya, tidak bicara secara langsung.
Hai, kenapa ia harus merasa kecewa. Hanzel bukan siapa-siapa dan pria itu hanya orang asing yang selalu hadir dan kehadiran pria itu selalu bertepatan dengan kejadian yang mengejutkan. Sebuah kejadian yang datang kepadanya secara dua kali berturut-turut. Hazel membuang kertas itu di atas tempat sampah yang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
PISTANTHROPHOBIA [TAMAT]
БоевикWarrning 18+ {NO MATURE CONTENT} Hanzel Palmerah, seorang intelijen kepolisian yang menderita Pistantophobia karena masa lalu yang di alami oleh keluarganya. Ia bertemu dengan Hazel, seorang gadis misterius yang datang secara tiba-tiba. Gadis yang s...