Chapter 7: What i feel?

67 8 0
                                    

Chapter 7: What i feel?

"I try to find you and i don't know what i feel."

_______

"Selamat datang kembali di kantor yang menyebalkan dan," Hazel mengatakan itu pada dirinya sendiri ketika memasuki ruangannya dan berhenti saat melihat tumpukan berkas di atas meja. "Sudah berapa lama kalian berada di sana wahai berkas-berkas sayang penghasil uang?" Ia menghitung tumpukan berkas itu dengan mengerucutkan bibir lalu beralih duduk di kursi.

"Kalian harus tau berkas, liburan orang Indonesia itu membawah penat bukan bahagia atau menyegarkan pikiran. Kenapa orang luar sana selalu lebih segar setelah liburan?" Curhat Hazel pada tumpukan berkas itu sambil memutar kepalanya dan terdengar bunyi cukup keras.

"Mari kita mulai bekerja agar aku bisa cepat keluar dari sini lalu memotret hirup pikuk Ibukota." Hazel meraih satu berkas yang di balut dengan map berwarna biru lalu mulai membaca berkas tersebut.

Usianya memang masih dua puluh tahun, tapi ia sudah mempunyai jabatan yang baik di perusahaan property milik ayahnya. Ia bekerja, kuliah dan melakukan hobi memotret tapi itu semua adalah hal yang tak melelahkan bagi Hazel. Justru ia sangat bersyukur atas semua itu, walau ia tak suka bila harus berlama-lama di dalam kantor dengan mengerjakan berkas pemasaran.

Kemampuannya di dunia fotografi juga ia manfaatkan untuk memotret bangunan yang akan di iklankan kepada masyarakat. Jadi menghemat beban iklan karena gratis. Maka dari itu, Hazel adalah putri kesayangan dan bisa untuk diandalkan dalam melanjutkan mega usaha sang ayah. Meski sebenarnya Hazel tak menyukai pekerjaannya yang sekarang karena itu menyita waktu bermainnya dengan teman-teman kuliah dan sekolah dulu.

Semua berkas-berkas sudah ia salin di komputer dan pekerjaannya sudah selesai. Biasanya Hazel akan memotret action figure koleksinya yang berjajar di atas bufet sudut ruangan. Tapi, kali ini ia akan menyalin semua hasil bidikannya di Batam kemarin. Menyalin semua potret itu ke dalam hardisk eksternal.

Semua foto itu indah dan ada satu foto yang membuat hatinya kembali bertanya gelisah. Foto kedua punggung kaki Hanzel di atas pasir putih senja. Foto yang ia ambil secara diam-diam dan itu adalah foto kedua Hanzel yang ia punya. Tunggu, ada beberapa foto Hanzel lagi, foto Hanzel di dalam mobil travel.

Hazel memandang foto punggung kaki itu terus dengan berpikir bagaimana ia bisa bertemu dengan Hanzel lagi karena ada yang harus Hazel kembalikan. Ia baru ingat saat sampai di kamar ketika membuka ransel dan menemukan iPod milik Hanzel. Rasanya ia ingin kembali terbang ke Batam untuk menemui Hanzel dan mengembalikan iPod itu. Tapi mereka sama-sama tinggal di Jakarta, siapa tau akan bertemu. Ia ragu Hanzel tinggal di Jakarta karena pria itu seorang intelijen mungkin saja ia tengah bertugas di Jakarta, seperti saat ini yang bertugas di Batam.

"Aduh, kenapa gue malah mikirin kemungkinan dan kemungkinan si Hanzel tinggal dimana, sih."

Hazel mengetok kepalanya kesal tapi hatinya terus menyebut nama Hanzel serta bagaimana keadaan pria kaku misterius itu. Sebuah ide yang cukup memungkinkan untuk bisa mengetahui tentang Hanzel tercetus dalam otaknya. Tak banyak pertimbangan lagi, Hazel langsung menelpon teman SMA-nya yang menjadi seorang polisi dan bertugas di Jakarta Timur.

"Hello, Dan lo hari ini ada waktu kosong gak," tanya Hazel langsung pada temanya yang berada di sebrang sana dengan semangat.

"Bagus! Gue bisa gak ketemu sama lo entar malem lepas gue pulang dari kampus?" Ia harus bisa bertemu dengan temanya itu malam ini karena perasaan nya sudah tak sabar lagi untuk mengorek info tenang Hanzel.

PISTANTHROPHOBIA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang