Warrning 18+ {NO MATURE CONTENT}
Hanzel Palmerah, seorang intelijen kepolisian yang menderita Pistantophobia karena masa lalu yang di alami oleh keluarganya. Ia bertemu dengan Hazel, seorang gadis misterius yang datang secara tiba-tiba. Gadis yang s...
Suara itu terdengar samar dan serak tercekat, berpadu dengan raungan sirine ambulan dan mobil polisi. Darah berceceran di atas aspal kering dengan suara rintihan anak kecil yang meringkuk di dalam pelukan seorang pemuda yang penuh goresan luka pada kulitnya. Tim medis berdatangan untuk menyelamatkan mereka, namun sebelum itu, terdengar seruan seorang kepala polisi untuk segera mengevakuasi korban yang masih hidup. Pemuda itu bangkit dengan mengendong anak kecil itu--- memberikan anak itu kepada kepala polisi.
"Namanya Palmerah. Saya titip adik saya sebentar." Pemuda itu tersenyum hangat menatap anak kecil itu, kemudian menatap penuh harap kepada kepala polisi.
"Tunggu nak, jangan pergi ke sana, mobil itu sebentar lagi akan meledak." Pemuda itu tak mengindahkan peringatan serta halauan dari beberapa polisi agar tidak menuju mobil yang terbalik di bibir jalan.
Ketika pemuda itu berhasil mengeluarkan badan seorang perempuan paru-baya yang tubuhnya berlumuran darah, tiba-tiba mobil meledak dan mengeluarkan api setelah beberapa menit sebelumnya mengeluarkan asap. Sebelum pemuda itu mengeluarkan perempuan paru-baya itu dari dalam mobil, ia melemparkan sebuah kotak yang terbuat dari baja, hingga melambung tinggi dan ditangkap oleh seorang tim medis.
Tangis anak kecil itu pecah dalam rengkuhan kepala polisi. Anak kecil itu hanya bisa menangis dan berteriak tercekat memanggil orang-orang yang sangat ia cintai.
"Maaf pak, ini kotak yang di lempar oleh pemuda tadi." Seorang tim medis yang menangkap kotak baja itu memberikannya kepada kepala polisi dan diterima dengan sebuah tanda tanya besar di benak kepala polisi.
"Nak, ada paman di sini dan paman berjanji akan menjaga serta merawat kamu." Kepala polisi itu mencoba untuk menenangkan anak kecil itu dengan terus menjelaskan jika semuanya baik-baik saja.
"Bunda!" Anak kecil itu bersuara memanggil nama ibunya ketika ia di tidurkan dalam bangkar ambulan dengan ditemani oleh tim medis dan kepala polisi.
"Saya yakin, jika ini sebuah skenario pembunuhan." Kepala polisi itu menghubungi bawahnya yang seorang agen intelijen untuk mengusut kasus yang di alami oleh satu keluarga itu.
"Paman bicara dengan siapa," tanya anak kecil itu dengan menatap kedua mata kepala polisi.
"Seorang agen intelijen." Kepala polisi itu melihat sebuah kilatan yang berbeda dari pancar mata serta wajah anak kecil itu.
"Siapa namamu, nak," tanya kepala polisi itu dengan mengusap lembut rambut hitam tebal anak kecil itu.
"Hanzel," jawab anak itu dengan tegas.
"Hanzel Palmerah," seru kepala polisi itu dengan senyum.
"Rawatdanjagaadikmudenganbaik. GantinamabelakangkaliandenganPalmerah, agarkalianterusmengingatkejadianinisertabalaskan dendam keluarga kita."
Hanzel mengingat dengan jelas pesan yang ayahnya katakan pada kakaknya itu. Rasa jarum suntik yang kini menusuk kulitnya tak terasa sakit seperti rasa sakit hatinya akan dikhianati oleh orang kepercayaan keluarga serta kehilangan orang-orang yang sangat ia cintai.
Alat infus kini sudah terpasang di punggung tangannya. Perawat sedang membersihkan luka yang ada pada kulit tangan dan kakinya. Terasa peri tapi tak seperi mengingat kejadian dimana sembilu tajam itu ditancapkan pada jantung adik perempuannya yang masih berusia lima tahun. Serta badan ibunya yang disayat dengan pisau untuk mengupas kulit buah secara tak manusiawi hingga berakhir pada jantung ibunya.
Suara dentingan gunting yang menatap baskom stainless terdengar menggelitik di telinga Hanzel. Menjadi terdengar seperti suara letusan timah panas yang ditujukan pada badan sang ayah tapi Tuhan masih memberi ayahnya kesempatan untuk memberi nasehat terakhir pada kedua putranya yang masih selamat.
Hanzel dan kakak laki-lakinya memang hanya mendapat luka sayatan pada kulit mereka karena saat para penghianat itu akan melepas pelatuk, terdengar suara teriakan warga yang meminta tolong karena ada sebuah perampokan. Para pelaku akhirnya gagal mengeksekusinya dan pergi melarikan diri.
Suara ledakan mobil itu masih terekam dengan jelas di telinga Hanzel dan ia tak akan pernah bisa memaafkan penghianat itu. Ia akan hidup dengan sangat baik agar semua dendam keluarganya dapat ia balaskan. Pembalasan yang jauh lebih memilukan dari sekedar membunuh dengan pistol, pisau atau pun racun. Membalas membunuh akan menyisakan dosa, jadi pasti ada cara lain selain membunuh.
Hanzel menatap lampu putih itu tajam dengan gejolak rasa dendam serta trauma mendalam yang tiba-tiba bersarang di hatinya.
Dokter menyuntikan obat tidur pada Hanzel. Hanzel menutup mata dengan gumpalan dendam yang mengantikan titik nadir dari dalam dirinya.
Tbc.
Notes: Edisi Revisi
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.