Chapter 6: Bukit senyum.
"Lamp in your eyes. Light in your smile."
_________
"Lo tau gak, kenapa bukit ini diberi nama bukit Senyum?"
Hanzel tak menjawab, hatinya risau karena mengajak Hazel ke bukit senyum adalah sebuah kesalahan yang mungkin fatal. Seharusnya, hari ini ia tak mengajak Hazel ke bukit Senyum, tapi apa yang sudah terjadi tak bisa ditarik ulang seperti menggunakan mesin waktu yang berada di rana fantasi. Ini semua terjadi secara mendadak dan baru terdeteksi oleh rekan-rekanya, jadi ini bukanlah sebuah kesalahan darinya.
Mafia narkoba itu akan melakukan sebuah kekacauan di bukit Senyum sebagai aksi balas dendam karena lima anak buahnya ditembak dan ditangkap oleh polisi. Ia harus bisa melindungi Hazel serta para pengunjung yang lain dengan rencana yang disusun secara mendadak satu jam yang lalu melalui ponsel dengan sandi morse.
"Hanzel, lo gak denger gue tanya apa barusan?" Hazel menyenggol siku Hanzel karena pria itu tak menjawab pertanyaannya dan malah menatap serius perkotaan di pulau sebrang.
"Untuk menarik wisatawan," jawab Hanzel terlambat tapi Hazel senang karena telinga Hanzel masih berfungsi normal walau terlihat mengabaikan pertanyaannya.
"Bukan," Hazel maju selangkah, "Karena gue tersenyum bahagia saat melihat lampu kota di sana serta keindahan langit malam." Memang benar karena hal itu bisa membuat Hazel tersenyum lebar walau definisi nama bukit Senyum bukan seperti yang Hazel katakan barusan.
"Itu menurut kamu." Komentar Hanzel dengan mengetikan sandi morse pada ponselnya.
"Tentu aja itu menurut gue." Hazel tersenyum lebar dengan memotret pemandangan kerlip lampu kota di pulau sebrang.
Hanzel tak yakin jika senyum itu akan terus menghiasi bibir indah kecil Hazel ketika apa yang direncanakan oleh mafia narkoba itu berlangsung sebentar lagi namun ia dan rekanya harus bisa mencegah hal itu agar tak sampai terjadi.
"Kamu terlihat sangat bahagia," seru Hanzel sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk melihat keadaan serta mencari rekanya yang tengah menyamar.
"Tentu aja. Gue ngerasa ngelihat senyum dari seseorang yang telah lama hilang dari hadapan gue di antara lampu kota itu." Hazel menunjuk kerlip lampu di pulau sebrang, seolah ia tengah menghitung ada berapa banyak lampu kota yang bersinar di sebrang sana.
Hanzel langsung menolehkan pandangan menatap wajah samping Hazel setelah mendengar jawaban Hazel barusan. Hatinya mendadak merasa seperti nyeri dan terkejut.
"Dia berada di sana. Bernaung dalam sebuah bangunan kota dengan hati yang pilu namun hidup penuh kebebasan." Hazel berhenti memotret.
"Kamu kehilangannya?" Hanzel tetap memandang wajah Hazel dari samping.
"Gue cuma kehilangan sosoknya dan gue percaya, bahwa hatinya tetap manggil nama gue buat pergi ke sana," Pandangan mata Hazel menatap lurus dan tanpa ia sadari jika mulai berkaca-kaca. Nada bicaranya juga berubah tak sebahagia tadi.
"Kenapa dia gak datang buat jemput kamu dan pergi bersama?"
"Dia ingin tapi takut akan kehilangan kebebasannya."
"Berarti dia egois."
Hazel menolehkan kepala untuk menatap Hanzel yang masih menatapnya. Wajah mereka saling bersipandang. Hanzel melihat sebuah luka yang besar dari dalam kedua bola mata Hazel. Ia yakin, jika yang Hazel maksud adalah kekasih atau mantan kekasihnya yang pergi ke Singapura tanpa dirinya dan hubungan mereka berakhir karena tak bisa berhubungan jarak jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
PISTANTHROPHOBIA [TAMAT]
ActionWarrning 18+ {NO MATURE CONTENT} Hanzel Palmerah, seorang intelijen kepolisian yang menderita Pistantophobia karena masa lalu yang di alami oleh keluarganya. Ia bertemu dengan Hazel, seorang gadis misterius yang datang secara tiba-tiba. Gadis yang s...