2 • Pesawat

171 33 5
                                    

Mata Jingga berbinar-binar ketika membaca pesan Moza yang baru masuk tadi subuh. Gadis itu berteriak heboh, kemudian beranjak menemui ibunya yang tengah menyiram mawar-mawarnya di halaman belakang. Wanita yang umurnya tidak lagi muda itu menoleh saat mendengar langkah kaki seseorang yang menuju ke arahnya dengan lincah. Ketika muncul wajah Jingga di hadapannya, wanita yang disapa Bunda itu menghela napas lega. "Bunda kira siapa,"

Raut wajah Jingga terlihat bahagia, membuat Bundanya, Zahra kian penasaran. Belum sempat bertanya, rasa penasaran Zahra hilang seketika tatkala mendengar ucapan Jingga. "Lana hari ini pulang dari Paris, Nda!"

Air wajah Zahra terkejut saat mendengar berita itu. "Loh? Kok kita dikasih tau mendadak, ya?"

"Aku juga nggak tau, Nda. Moza tuh! Kebiasaan, demen banget kalo ngabarin suka mendadak." Tukas Jingga, lantas Zahra ikut berdecak, "kamu jangan suka nyalahin Moza, ah. Siapa tau Moza sibuk,"

"Iya Nda. Sibuk nonton drakor sampe tengah malem." Jingga terkekeh, kemudian melenggang keluar rumah.

"Nda! Jingga ke rumah Bella sebentar ya,"

Zahra menggeleng melihat tingkah Jingga yang masih terlihat persis seperti waktu gadis itu masih SMP. Tiba-tiba saja, angin membawa Zahra pada lamunannya, ketika anak-anak perempuannya yang masih kecil sedang bergurau di halaman belakang sembari bermain ayunan merah muda yang dibuat sang ayah.

Lamunan Zahra lantas buyar seketika tatkala duri mawar miliknya bersentuhan dengan salah satu jari miliknya. "Ah, andai kamu bisa ada di sini, Rehan."

Matahari menari di atas sana, membuat langit biru mahaluas terkena kilauan terik matahari. Jingga hampir sampai di rumah Bella yang hanya beda dua gang dengan rumahnya. Batin Jingga refleks terkejut ketika melihat sesuatu yang bergerak di dahan pohon yang ada di depan rumah Bella. Cewek itu menyipitkan kedua kelopak matanya untuk meyakinkan apa yang baru saja dia lihat.

Setelah berkali-kali dia mengamati, rasa penasaran serta insting bertahan hidup yang ada di dalam diri Jingga mendorongnya untuk mendekat. Kakinya sontak dibuat lemas saat matanya menangkap bayangan seorang laki-laki sedang berada di atas pohon, berusaha memetik buah-buah mangga milik keluarga Bella. Cowok itu menyadari keberadaan Jingga di bawah sana. Dia lantas melompat ke bawah dan segera kabur.

"EH JANGAN KABUR!"

***

Rasa bosan terus-terusan mengusik kenyamanan Lana setelah berada di ruang tunggu bandara hampir dua jam. Gadis itu menoleh pada Jeviar yang tengah asik menonton Doraemon lewat ponselnya.

Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada punggung Jeviar, membuat keduanya saling membelakangi. Jeviar akan berpikir pacarnya sudah gila kalau memintanya menemani Lana untuk ke toilet yang ke lima kalinya. Lana benar-benar bosan.

Selang beberapa menit, speaker yang ada di atap-atap langit berbunyi, diisi dengan suara lembut wanita yang disambut ajakan Lana untuk segera naik ke pesawat. "Ayo, Na. Udah mau boarding tuh."

Meski kelihatan bersemangat karena pesawat mereka sudah memperbolehkan penumpangnya naik, ada hati kecil Lana yang mati-matian mendorongnya supaya tidak naik pesawat itu. Entahlah, mungkin Lana masih tidak rela meninggalkan Moza tidur sendiri selama tiga minggu ke depan.

Jeviar bangkit dari tempat duduk dan segera mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Cowok itu tiba-tiba berhenti saat hendak menunjukkan boarding pass miliknya pada salah satu pramugari. Dia berbalik, membuat Lana yang berada di belakang Jeviar dibuat heran. Jeviar menarik lengan Lana untuk menepi dari antrian, tidak peduli mereka harus mengantri lagi dari belakang.

Jeviar menatap wajah Lana lekat-lekat. Detik selanjutnya cowok itu membawa Lana dalam pelukannya. Pelukannya yang paling hangat. Jantung Lana berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya. Cewek itu membenamkan wajahnya pada tubuh Jeviar dan membalas pelukan yang dia dapat dari cowok itu. Setelahnya, Jeviar melepaskan Lana dari pelukannya dan kembali menuntun Lana untuk menyerahkan boarding pass pada pramugari dengan seragam biru itu.

Saat tiba di dalam tubuh pesawat, perasaan Jeviar semakin tidak karuan. Cowok itu berdecak sebal dalam hati, merutuki dirinya tanpa sebab. Pandangannya seolah tidak mau lepas dari Lana sejak pengumuman di ruang tunggu tadi berlangsung. Jeviar lagi-lagi tak kuasa menahan pandangannya untuk menatap wajah Lana bahkan sedetikpun. Diraihnya secarik kertas kosong dari tasnya, tak lupa beserta bolpoin. Cowok itu mulai menulis dengan serius, entah apa yang ditulisnya, Lana tidak melihatnya dengan jelas. Setelah dirasa cukup, cowok itu melipat kertasnya, kemudian memasukannya ke dalam kantung kertas yang terselip di bangku pesawat.

"Simpen baik-baik ya. Aku tau ini konyol, tapi seandainya aku nggak bisa terus nemenin kamu, kamu baca kertasnya ya. Kamu tau aku lebih cinta sama kamu dibandingkan diri aku sendiri. Saat semua milik kamu nantinya nggak ada. Bangkit demi aku, Na. Aku paling nggak suka liat kamu nangis,"

Gadis itu heran dengan perkataan Jeviar, sempat terbesit hal-hal aneh dipikirannya, tapi sesegera mungkin ia tepis. Ia merasa beruntung karena sudah dipertemukan semesta dengan sosok Jeviar. Lana mencintainya dengan tulus, begitu juga sebaliknya.

Selama tiga jam perjalanan, rasanya baik-baik saja ketika pilot memberitahu bahwa sabuk pengaman sudah boleh dilepas. Jeviar cukup lega, menolak mentah-mentah kejadian buruk akan terjadi hari ini.

"Na, kamu tunggu sini ya. Aku mau pipis sebentar,"

Sempat ada keraguan dalam diri Lana untuk membiarkan Jeviar pergi. Tapi akhirnya ia mengangguk pada Jeviar yang kemudian melenggang pergi dari tempat duduknya menuju toilet dibagian belakang tubuh pesawat. Detik berikutnya, seluruh awak pesawat dibuat heboh, beberapa orang berseru dari belakang. Dalam bahasa Prancis mereka saling berteriak, menanyakan mengapa pesawatnya berguncang agak keras.

Kejadian ini langsung di respon awak maskapai lewat speaker. Saat ini cuaca sedang tidak kondusif, jadi seluruh penumpang diharapkan duduk dan kembali memasang sabuk pengaman. Lana jadi panik ketika menyadari Jeviar tidak kunjung kembali dari toilet.

Beruntung cowok itu masih bisa Lana lihat tengah menuju ke arah tempat duduknya. Ada raut wajah sedikit lega melihat Jeviar sedang berjalan menuju Lana. Jeviar tiba di tempat duduk dengan selamat, kemudian kembali mengencangkan sabuk pengamannya. Batin cowok itu kembali bergejolak.

Ada sesuatu yang nggak beres, batinnya. Tapi kemudian cowok itu menepis pikiran negatif yang daritadi menghantuinya.

Jeviar menggenggam tangan Lana. Gadis itu bisa merasakan Jeviar yang sedang panik. Sontak seluruh penumpang menjerit histeris ketika pesawatnya mulai berguncang lagi. Kali ini guncangannya lebih keras sehingga membuat pesawat itu naik turun. Genggaman Jeviar semakin erat, detik selanjutnya disusul teriakan seluruh penumpang lagi.

Jeviar tidak pernah menyangka, pelukan itu, kata-katanya saat dalam pesawat, atau genggaman tangannya pada Lana. Semua itu menjadi kenangan terakhir yang bisa dia lakukan sebelum akhirnya pesawat besar itu jatuh dari ketinggian 35000 kaki di atas permukaan laut.

Lana merasakan rasa sakit menghantam punggungnya dan membuat suara seperti ada tulangnya yang patah. Mata gadis itu terbuka seperempat, menyadari tubuhnya berada didekapan orang yang dicintainya. Untuk terakhir kali dalam hidup Jeviar, cowok itu memberikan Lana pelukan paling hangat. Air mata Lana mengalir, membasahi luka yang ada di pipinya dan memberi kesan perih.

"Jev," lirihnya. Hal itu adalah kejadian yang dapat ia ingat sebelum akhirnya mata gadis itu tertutup dan pandangannya diselubungi kegelapan.

METANOIA | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang