6 • Koin Dua Sisi

87 14 0
                                    

Dimitri tidak benar-benar serius menonton siaran piala dunia yang saat ini disiarkan. Semenjak Lana memanggil cowok itu Sagara, pikirannya sedikit terganggu. Ada hal yang aneh tiap kali nama Sagara bergeming di telinganya.

Sosok itu Arkace Orion, atau yang lebih akrab disapa Arka karena penolakannya dipanggil Arkeis sejak pertama kali bertemu Dimitri. Cowok itu selalu perfeksionis dan bijaksana, berbanding terbalik dengan Dimitri yang cenderung malas dan suka lupa diri kalau sudah berhadapan dengan game.

Kali ini tanpa sadar Dimitri kembali membuka kotak putih yang selalu dia simpan seapik-apiknya seperti benda bersejarah. Senyumannya menyeringai, kala menatap beberapa foto lama yang selalu membuat sosok lain dalam diri Dimitri hadir.

"Ternyata masih ada ya?" gumamnya.

Diambilnya salah satu foto yang menampilkan tiga sosok anak laki-laki dengan senyum lebar sembari saling merangkul. Anak yang pertama terlihat lebih tinggi, sedangkan dua anak lain tingginya sejajar.

Rasa sesak di dada Dimitri mulai terasa. Cowok itu duduk di ujung tempat tidurnya, kemudian tersenyum tipis.

"Udah setahun ya, Ka."

***

Jarum jam menunjukkan angka 11.30 malam ketika Dimitri hendak menyelinap keluar dari rumah. Cowok itu lengkap dengan jaket, helm, tak lupa juga kunci motornya dengan gantungan Elmo. Dengan dramatis, cowok itu menuruni tangga perlahan-lahan, berusaha sekuat mungkin agar langkah kakinya tidak terdengar siapa-siapa.

Jantungnya berdegup kencang—takut ketahuan. Cowok itu hampir sampai rintangan terakhir, pintu kayu yang sudah dikunci. Pintu itu sudah lumayan lama, sehingga ketika dibuka, akan terdengar suara decit karena gesekan pada lantai. Dimitri menarik napas kuat-kuat, kemudian dengan lembut menarik pintu itu sangat hati-hati.

"Mau keluar ya?"

Dimitri hanya mengangguk sebagai jawaban. Tak lama, cowok itu sadar dia hanya sendiri di ruang tamu, berusaha melarikan diri untuk pergi balapan motor. Dimitri menoleh cepat, mendapati ayahnya berdiri tepat di ambang pintu kamarnya, tengah memperhatikan anak sulungnya yang sedang berusaha kabur tanpa sepengetahuan siapapun.

"Papah," panggil Dimitri canggung.

"Gak usah cengar-cengir, kamu! Mau kemana? Bawa helm tengah malem. Ngigau kamu ya!"

"Aku mau cari makan aja, laper."

"Gak usah bohong. Dari kecil sampe sekarang kamu paling gak bisa makan tengah malem gini. Sekarang malah nyari makan. Di dapur kan ada nasi goreng, kenapa ga ke dapur aja?"

"Aku lagi ga pengen nasi—"

"Jangan pikir papa gak tau kamu mau balapan." Tukas Adrian.

Perkataan Adrian sukses membuat anak sulungnya itu bungkam. Tak lama, Tania menyusul keluar kamar, menyaksikan perdebatan ayah dan anak itu.

"Tapi, Pa. Kasih Dimi kali ini aja, kalo Dimi gak dateng kasian temen Dimi. Nanti malah dia yang kena."

Tania menghampiri anaknya itu, menarik lengannya dan membuatnya duduk di sofa. "Terus menurut kamu, Mama bakal izinin kalo kamu yang kenapa-napa?"

METANOIA | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang