Tangis Lana pecah begitu membaca surat dari Jeviar yang tempo hari terselip di tas gadis itu. Gadis itu menumpahkan segala kesedihan dan rasa sakitnya malam ini. Seakan tangisannya malam ini adalah pengantar tidur bagi perempuan itu, Lana benar-benar ingin mengangis sejadi-jadinya.
Surat kecil itu terus digenggamnya, sakit. Hanya itu yang Lana rasakan. Lana kehilangan arah. Gadis itu merasa hancur tiap kali mengingat kenangannya bersama Jeviar, tiap ia mengingat bahwa yang mengajaknya pulang ke Jakarta adalah dirinya sendiri. Wajahnya memerah, matanya bengkak sementara tenggorokannya terasa kering dan pedih.
Gadis itu menjenggut beberapa helai rambutnya, merasa geram dengan dirinya sendiri. Sesekali ia melempar bantal-bantalnya ke sembarang arah, lalu kembali menangis kencang. Jeviar bukan sekedar kekasih bagi perempuan itu. Jeviar segalanya.
Lana merutuki dirinya sendiri. Tentang bagaimana gadis itu tidak mampu melupakan Jeviar, juga tentangnya yang terlalu rapuh. Entah Jeviar akan menertawakan gadisnya, atau malah membujuk gadis itu agar berhenti menangis.
Perlahan isakan-isakan yang keluar berubah menjadi isakan menyedihkan. Gadis itu memegangi dahinya, sesekali memukul-mukul bantal yang digenggamnya erat. Lana benar-benar hilang akal.
Setelah menangis cukup lama, pening mulai dirasakan gadis itu. Matanya berkunang-kunang, sehingga ia memutuskan untuk tidur. Lana hanya berharap di tidurnya kali ini, Jeviar hadir lalu membuatnya tenang.
Ketika pagi berangsur menjemput malam, biru mengambil alih langit. Cahaya matahari masuk lewat ventilasi kamar Lana, membuat gadis itu mengerjapkan matanya. Begitu gadis itu terbangun, rasa pusing menjalar di kepalanya, membuatnya mengerang sebentar.
Lana melirik jam yang menempel di dinding kamarnya, sekarang pukul setengah tujuh. Ia beranjak dari tempat tidur, kemudian menuju kamar mandi untuk berendam di sana. Gadis itu memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya di dalam air hangat.
Setelah dua puluh menit, gadis itu keluar dari sana, lantas berganti pakaian serba hitam. Bukan tanpa sebab Lana kembali menangis untuk Jeviar lalu memakai pakaian serba hitam. Gadis itu akan kedatangan tamu istimewa, Vita dan Harry—orangtua asuh Jeviar—yang mengajaknya ke makam cowok itu.
Lana memoles kedua kantung matanya yang terlihat hitam dengan bedak padat. Gadis itu duduk di depan cermin, memandangi dirinya sendiri yang tengah kacau. "Harus kuat, Lana." Ia menyemangati dirinya sendiri, lantas mengulas senyum di pipinya dan mengambil napas panjang.
Lana turun dari kamarnya menuju ruang tamu. Dilihatnya tidak ada satu orangpun di sana. Gadis itu menghabiskan waktunya menonton siaran televisi sambil menunggu ibu dan kedua kakaknya bangun, juga menunggu kedatangan Vita dan Harry untuk menjemputnya.
Ia mengecek ponselnya, mendapati banyak pesan masuk di aplikasi LINE miliknya. Lana menggulir layarnya, kemudian membaca dan mulai membalas pesan-pesan itu satu persatu. Mulai dari Ara yang mengajaknya untuk nongkrong di sebuah kafe, Haidar yang hanya mengabari kalau cowok itu baru saja bertengkar konyol dengan Haikal, sampai chat terakhir Dimitri yang belum ia balas hingga pagi.
***
Ketika Dimitri ingin jus buah mangga, alih-alih membeli buah atau membeli jusnya langsung, cowok itu akan berkeliling dengan motornya, mencari sasaran tepat untuk mengambil dua hingga tiga buah mangga dari pohonnya langsung—tanpa izin.
Seperti siang hari ini, cowok itu melajukan motornya di sekitaran daerahnya. Selain ingin mencuri buah kesukaannya itu, Dimitri ingin menghabiskan waktu menghirup udara pagi sambil berkendara. Cowok itu sengaja tidak mengajak sahabatnya, Dimitri kapok karena hampir ketahuan saat melakukan aksi dengan Haikal.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA | Kim Doyoung
Fanfiction[update setiap hari minggu] Semenjak insiden kecelakaan pesawat itu, hari-hari Lana tidak seindah yang gadis polos itu harapkan. Lana terpaksa harus sekolah di tanah kelahirannya, Indonesia-yang kemudian membawanya bertemu sosok Sagara Dimitrio. Co...