25 • Rumah Sakit

54 8 1
                                    

Dimitri perlahan membuka kedua matanya setelah semalaman dirawat di rumah sakit. Kedua orangtua dan adiknya juga berada di sana ketika mengetahui Dimitri dilarikan ke rumah sakit usai dikeroyok beberapa orang. Tania menghela napas lega karena anak sulungnya itu akhirnya tersadar.

"Ya Tuhan, makasih Ya Tuhan.... Akhirnya kamu sadar Dim." Tania menggenggam tangan Dimitri yang tidak berdaya itu.

Wajah dan sekujur tubuh Dimitri penuh luka lebam dan perban, nyeri yang ia rasakan membuat tubuhnya kaku dan tidak punya tenaga untuk bergerak. Dimitri menatap lemah kedua orangtua dan adiknya, lalu dari mulutnya itu keluar satu kata yang terpintas di pikirannya. "Maaf."

Tania meneteskan air mata disambut dengan rengekan Keira di samping tempat tidur kakaknya.

"Kenapa sampai kayak gini sih, Nak? Sebenernya ada apa... Kenapa berurusan sama polisi?" tanya Adrian bingung.

Dimitri tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Cowok itu masih menatap langit-langit putih di depan mata dengan tatapan kosong. "Dim?" tegur Adrian.

"Semua ini biar Gibran masuk penjara, Pah."

Jawaban Dimitri itu sontak membuat Adrian dan Tania terkejut. Mereka kira selama ini Dimitri sudah tidak pernah lagi berurusan dengan Gibran. "Maksud kamu apa, Dim?" tanya Tania.

"Kemarin aku sengaja dateng sendirian. Supaya polisi bisa nangkep Gibran."

"Ya tapi nggak harus seperti ini caranya, Nak. Kamu udah babak belur kayak gini loh. Kalau lebih parah dari ini Mama udah nggak tau harus apa, Dim. Kamu nggak mikirin keluarga?"

Dimitri menatap wajah khawatir Tania. "Dimi nggak papa. Asalkan orang itu masuk penjara."

"Udah, udah, Mah. Biarin Dimi istirahat dulu. Lebih baik kita tunggu di luar supaya istirahatnya kondusif dan bisa cepet pulang." Ujar Adrian. Tania dan Keira mengangguk mengerti, kemudian mengikuti langkah Adrian keluar ruangan.

Kini Dimitri sendirian. Cowok itu berusaha mengangkat tubuhnya, namun rasanya masih terasa sakit sekali sehingga ia meringis kesakitan. Dimitri menarik napas panjang, lalu menghembuskannya seperti melepas semua beban di hidupnya.

Dimitri tidak menyesal karena telah dikeroyok beberapa orang suruhan Gibran. Untuk menangkap orang selicik Gibran memang perlu strategi dan pengorbanan. Saat itu Gibran tidak dipenjara sebab Dimitri tidak memiliki bukti apapun karena Gibran bergerak sendiri.

Tapi kini ia mampu menjebloskan Gibran ke penjara atas tuduhan penganiayaan. Percakapan Gibran ke Dimitri tadi malam juga sempat direkam untuk menjadi bukti kejahatan Gibran beberapa tahun lalu.

Dimitri mengulas senyum. "Sekarang lo bisa tenang Ka. Lo nggak perlu khawatir lagi."

***

Haidar tiba-tiba duduk di sebelah Lana saat jam istirahat sudah dimulai. Cowok itu memperhatikan wajah Lana dengan seksama, kemudian mengerutkan keningnya kebingungan. "Ada apa? Nggak biasanya lo gini."

Lana menggeleng pada Haidar. "Nggak ada apa-apa kok Dar."

"Yakin? Lo sakit?"

"Enggak, Dar."

"Ya udah, syukur kalo lo nggak kenapa-napa. Mau ke kantin? Apa ke kafe Satria?" tanya Haidar.

"Lagi nggak pengen kemana-mana, Dar. Nggak apa kalo kamu mau ke kantin duluan."

"Loh kok gitu. Udah makan emangnya? Atau gue beliin aja ya? Lo mau titip makan apa?"

METANOIA | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang