23 • Rahasia

31 9 0
                                    

Lana berusaha untuk tidak gemetar ketika melihat sebuah foto yang terselip di sana. Tubuhnya langsung lemas dan pandangannya terasa kabur. "Nggak mungkin."

"Gak, ini bukan dia. Nggak mungkin," Lana tertarik jauh pada pikiran terdalamnya, hingga tak menyadari ia telah bersimpuh dengan lutut membentur lantai.

Keira menatap Lana dengan cemas, anak itu buru-buru menghampiri Lana dan mengguncang-guncangkan bahunya. "Kak, kenapa? Itu fotonya kan punya Abang."

Lana tidak menggubris. Pandangannya tetap terpaku pada foto yang ia genggam. Beribu pertanyaan muncul di benaknya. Sementara batinnya sedang kalut karena tidak mengerti apa yang baru saja dilihatnya. Lana benar-benar 'kosong'.

Sementara Dimitri sudah selesai membantu Tania di dapur, cowok itu langsung menuju ke kamarnya untuk membantu Keira. Dimitri mengernyit heran ketika Keira berada tepat di belakang begitu ia membukanya.

"Kamu ngapain Kei—"

"Alana?" Dimitri terbelalak begitu melihat Lana bersimpuh di lantai dengan kotak miliknya yang berserakan.

"Siapa yang suruh lo masuk kamar gue sembarangan?" cetus Dimitri.

Lana menoleh sedikit ke belakang ketika pertanyaan itu muncul. Bukankah seharusnya ia yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu pada Dimitri? Bukankah seharusnya Dimitri yang berhutang penjelasan padanya?

Gadis itu geram. Tangannya dikepal kuat untuk mewakili hatinya yang hancur saat ini. Perlahan Lana bangkit, ia menatap Dimitri dengan tatapan tajam yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan.

"Aku perlu ngomong."

"Harusnya lo nggak sembarangan masuk kamar orang."

"Aku perlu ngomong!" sentak Lana. Kemudian ia menarik Dimitri keluar dari sana. Gadis yang tengah diselimuti emosi itu membawa Dimitri menuju teras rumah.

Bahu Lana naik turun, menunjukkan betapa geramnya ia saat ini. Gadis itu menyodorkan sebuah foto pada Dimitri. Yang kemudian membuat wajah cowok itu berubah serius.

"Ini apa? Mereka berdua siapa?" tanya Lana.

Dimitri memicing. "Mereka sahabat gue."

***

Pagi itu Dimitri berniat untuk melayat sebuah makam yang tidak pernah ia kunjungi lagi sejak dua minggu terakhir. Sosok itu mungkin cukup berharga bagi Dimitri. Tetapi untuk Arka, sosok itu bukan hanya 'cukup'. Ia adalah satu-satunya keluarga yang Arka punya sebelum Martha, ibu panti tempat ia dibesarkan.

Dimitri sampai di makam itu pagi pukul tujuh. Dengan perasaan berkabung, cowok itu menatap sebuah makam salah satu temannya. Dimitri memanggilnya Gideon. Ia bersimpuh, lalu mengelus batu nisan putih di sana. Rasanya sakit mengetahui Gideon menyusul Arka ke surga secepat ini.

"Saya gak pernah nyangka semua akhirnya kayak gini. Saya kira hidup kamu lebih baik dari saya karena kamu diasuh orangtua kaya. Bahkan saya selalu berdoa suatu hari kamu datang jemput saya. Maaf ya? Saya ga sempat ketemu kamu langsung. Maaf..." Dimitri menangis sesunggukan. Nafasnya sesak dan hidungnya memerah.

Beberapa saat setelah menangisi Gideon, kesadaran Dimitri akhirnya kembali. Cowok itu mengambil napas sepanjang-panjangnya supaya menjadi lebih tenang. Ia mengirim doa sebelum tubuhnya beranjak dari pemakaman.

Suasana hati Dimitri tidak cukup baik untuk pulang ke rumah, apalagi mampir ke rumah Haidar dan Haikal. Cowok itu akhirnya memutuskan mencari pohon mangga disekitaran sana untuk dibawa pulang. Alih-alih pohon tinggi dengan buah mangga, Dimitri menemukan sosok yang ia kenal. Seorang pria, yang seharusnya menanggung segala perbuatannya di penjara. Gibran.

***

"Kenapa? Kenapa nggak bilang dari awal sama aku, Dim?" dengan mata memerah Lana berusaha tetap tenang. Namun Dimitri tetap tidak menjawab pertanyaan Lana.

Ia akhirnya menitikkan air matanya yang pertama, artinya kedua kelopak mata itu sudah tak sanggup membendung kekecewaan saat ini. "Kenapa nggak bilang dari awal kalo kamu sahabatnya Jeviar?"

Dimitri terbungkam. Cowok itu menatap Lana menyesal. "Gue nggak mau lo nangis setiap lo inget Jeviar, Na. Bukan cuma lo yang kehilangan disini. Dia juga sahabat gue. Gue nggak mau lo deket sama gue cuma karena gue sahabatan sama Jeviar."

"Sesempit itu pikiran kamu, Dim? Kamu pikir aku bakal deketin kamu buat pelarian atau manfaatin kamu?" tanya Lana.

"Maksud gue bukan gitu!" bantah Dimitri.

"Ternyata kamu itu jahat ya Dim. Kamu nutupin ini semua dari aku, bahkan saat kamu udah denger semua cerita aku? Dengan alasan kayak gitu? A... Aku makin yakin kalo cerita Gibran ada benernya." Lana terisak.

Kedua mata Dimitri memicing. "Gibran cerita apa sama lo?"

"Kamu egois. Kamu minta Arka gantiin posisi kamu bahkan saat kamu tau bannya kempes kan? Aku nggak ngerti Dim. Kamu yang apatis atau aku yang terlalu melankolis, sih? Segitunya banget kamu jadi orang. Aku kayak... bener-bener salah nilai kamu ya?"

"Alana..." ujar Dimitri.

"Tolong jangan buat aku bingung lagi Dim."

"Setiap gue liat lo nangis karena Jeviar tuh rasanya sakit lo ngerti ga sih? Sakit, Na... Karena gue nggak pernah bisa buat lo lupain dia. Dan itu yang bikin gue nggak bisa cerita sama lo semuanya."

"Kalo kamu nggak suka liat aku nangis kenapa—"

"Gue nggak mau lo jadi kayak gue. Gue mau lo punya kehidupan yang jauh lebih bahagia, Alana."

Lana terus menangis di hadapan Dimitri. Membuat cowok itu bingung dan merasa sangat bersalah. "Biar gue anter lo pulang,"

"Nggak perlu. Aku bisa pesen taksi online."

"Udah berkali-kali gue bilang jangan sok kuat."

"Dan kali ini aku minta tolong jangan peduliin aku Dim. Please..."

Dimitri akhirnya pasrah dengan keinginan Lana. Gadis itu menghapus jejak air mata disudut-sudut mata dan pipi, meskipun tidak berpengaruh karena hidungnya sudah memerah dan kedua matanya terlihat masih berair, pun nafasnya masih sesunggukan. Ia masuk lagi ke dalam rumah untuk berpamitan dengan senyum yang berusaha ia ukir di wajah.

Tak berapa lama taksi pesanan Lana datang menjemput. Dimitri yang pertama kali menghampiri sopir itu, ia memeriksa kursi belakang hingga bagasi. "Tolong anterin sampe rumah ya Pak. Pastiin dia nggak kenapa-napa. Kalo dia nangis diajak ngobrol aja. Tapi jangan digodain. Bapak bisa saya laporin loh. Bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut ya, Pak."

"Iya Mas, iya. Suka ngomong yah masnya."

Dimitri melempar tatapan sinis pada sopir taksi itu. Lalu segera beralih ke Lana yang hendak masuk ke dalam mobil. Pandangannya kosong dan mengarah lurus ke depan. Ia tidak berniat berpamitan dengan Dimitri atau sekadar menoleh ke arah cowok itu. Dimitri tahu Lana benar-benar kesal dan kecewa.

Dimitri menunduk setelah kepergian Lana. Cowok itu memijit hidung bagian atasnya, kemudian menggerutu sampai akhirnya berteriak kesal di pekarangan rumah. "Dimitri bego!!"

Dimitri tidak masuk ke dalam rumah dan melanjutkan aktivitasnya, melainkan langsung memakai helm dan bergegas melajukan motornya yang berada di sebelah garasi. Cowok itu pergi tanpa pamitan, bahunya naik turun karena tersulut emosi. Pikirannya kalut karena menyesal atas penjelasannya pada Lana yang malah bikin semuanya tambah runyam.

Padahal cowok itu hanya tidak ingin membuat kesedihan Lana semakin bertambah setiap dia ingat kalau Dimitri punya hubungan sahabat dengan Jeviar. Lana bisa saja memutuskan untuk tidak mau berteman lagi dengan Dimitri kalau dia sampai beranggapan Dimitri akan mengingatkannya terus pada Jeviar.

Dan harus Dimitri akui alasan terkuatnya adalah takut Lana menjauh.

Dimitri fokus mengendarai motornya menyusuri malam ibu kota yang lumayan padat. Saat ini Dimitri belum memutuskan harus kemana. Tapi yang pasti ada seseorang yang harus ia temui malam ini juga.

METANOIA | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang