Gone

1.9K 299 48
                                    


Seoul Airlines (okey, ini ngarang. Ntah ada di dunia nyata ato gak) baru saja lepas landas dari bandara Incheon. Seorang pemuda berambut merah menatap keluar jendela pesawat dengan pandangan datar. Tangan kirinya bersandar pada sisi jendela elegan.

Pikiranya kosong, hatinya juga. Tak ada rasa sedih ataupun bahagia yang dirasa, hampa. Dia tak tahu apa yang dilakukanya kini benar atau salah. Atau mungkin lebih tepatnya ia tak peduli. Entah bagaimana jadinya masa depan nanti, yang pasti ia ingin merasakan beberapa tahun tanpa mereka.

"Kita akan sampai 8 jam lagi,kau bisa beristirahat, " ucap pemuda di sampingnya.

Pamuda itu hanya bergumam tak jelas. Masih melakukan kegiatanya mengamati awan di luar sana. Ngomong - ngomong tentang istirahat, entah sudah berapa hari ia mengabaikan hal itu. Kemarin - kemarin ia disibukan dengan jumpa pers dan banyak hal lainya. Bahkan hampir tak pulang ke rumahnya.

Walau alasan utama ia tak pulang bukanlah karena pekerjaanya, tapi karena rasa malas bertemu dengan orang itu. Hatinya memanas karena amarah, dan mendingin karena luka. Sampai akhirnya, disuatu titik, hati itu hancur seperti teremos yang diisi air es. Pecah berkeping keping, menyisakan pecahan yang mampu membuat luka baru.

®®®

"Setahu ku kalian berangkat beberapa hari lagi? " gumam Jang Geun suk pada kedua adik angkatnya.

"Ah, itu karena kami harus mengurus beberapa hal di Jepang dulu, Hyung,"  jawab Junsu sambil tersenyum tipis.

Geun suk hanya menghela nafas lelah. Yah, ia tahu apa saja yang akan dilalui mereka. Berurusan dengan para mafia bukanlah hal mudah, apalagi bagi para remaja seperti mereka. Tapi apa boleh buat? Toh nasi sudah jadi bubur. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk para adik angkatnya.

"Dia sudah berangkat duluan? " tanyanya lagi.

" Eumh, kami akan menyusulnya begitu sampai disana, "

" Baiklah, kalian berhati Hati lah. Hubungi aku jika ada apa apa atau butuh bantuan, "

" Arraseo. Jja, kami pergi. Jaga dirimu baik baik, Hyung! "

®®®

Yunho terpaku menatap ruangan di depannya. Hal pertama yang ia inginkan setelah sampai di mansion adalah melihat adiknya. Walau dirinya akan ditolak sekalipun, melihat Jaejoong di sini dan baik-baik saja sudah cukup baginya. Asalkan Jaejoong masih dalam jangkauan matanya, semua kata-kata iblis akan ia terima dengan senang hati.

Tapi hari ini semua sirna. Biasanya ia akan mengetuk pintu kamar Jaejoong tiga kali lalu melangkah masuk, dan akhirnya kata-kata terlewat menyakitkan akan ia dapat dari Jaejoong. Tapi kali ini tak ada kata-kata kasar, bahkan jejak Jaejoong di kamar itu pun tak ada.

Ranjang itu rapi, tak ada tanda bekas terpakai. Dirapaikan pelayan pun tak mungkin, karena Jaejoong tak pernah suka ruangan miliknya tersentuh satu orang pun. Yunho sudah mengelilingi kamar, semuanya kosong. Lemari pakaian mungkin masih utuh, tak ada satupun yang berkurang. Tapi entah mengapa tak menemukan jejak adiknya dimanapun sudut mansion membuat hatinya gundah.

Kakinya segera melangkah keluar ketika sepasang telinganya menangkap suara pelayan yang menyapa kedua orang tuanya. Di ruang keluarga, ada dua orang itu juga kakeknya.

"Appa, Jaejoong... "

Yunho menutup mulut begitu menyadari suasana mencekam memenuhi setiap sudut ruangan. Ia menatap tiga otang itu kebingungan. Kakeknya nampak tenang sambil menyeruput tehnya. Ibunya menangis sesenggukan di dekapan sang ayah. Ada apa ini? Pertanyaan itu berputar di otaknya.

KILL ME, PLEASE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang