Part 3

1.6K 203 7
                                    

Pria itu mengambil salah satu bingkai foto dari beberapa pajangan lain di atas meja itu. Menyentuh wajah gadis yang nampak manis dengan senyumannya yang mengembang.

"Maaf membuatmu menunggu, nak."

Seokjin berbalik dan meletakkan bingkai foto yang ia genggam tadi. Ia dengan cepat mendekat pada Ibu Jinhee yang memegang sebuah nampan dengan segelas minuman di atasnya. "Biar kubantu, eomeonim."

Ibu Jinhee ingin menolaknya. Namun Seokjin lebih dulu mengambil alih nampan itu. Membawanya bersamanya dan kini keduanya telah duduk di sofa ruang tengah yang ada di rumah itu.

"Kau tidak perlu membawanya, Seokjin. Bukankah kau masih belum pulih sepenuhnya?"

"Eomeonim, tidak apa. Aku baik-baik saja. Buktinya, aku bisa datang kemari, bukan? Malah aku merasa tidak enak karena merepotkanmu."

Ibu Jinhee hanya menghela napasnya saja. Perlahan mengambil salah satu tangan Seokjin. Mengelus punggung tangan pria dengan helaan napas yang kembali keluar dari wanita itu.

"Kau pasti sangat terpuruk belakangan ini. Bagaimana keadaanmu, hmm?"

Seokjin tersenyum tipis. "Jika boleh jujur, aku masih merasa sedih setelah kepergian Jinhee. Tapi aku tidak mungkin terus larut dalam kesedihanku. Atau Jinhee akan menangis disana karena melihatku yang begitu menyedihkan."

Ibu Jinhee hanya mengangguk menanggapinya. Berusaha menahan tangisnya pula. Tapi tak bisa ia lakukan karena setelahnya, satu bulir airmata kini sudah mengalir melewati pipinya.

"Eomeonim..."

"Aku bahkan masih bisa merasakan dia ada disini. Jika dia tidak pergi, mungkin dia sekarang saat ini telah menjadi istrimu. Melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dan kalian akan hidup bahagia setelahnya."

Seokjin beranjak. Merengkuh tubuh Ibu Jinhee untuk menenangkannya. Ia merasakan perasaan itu. Dia saja sangatlah bersedih. Ia tak bisa berpikir bagaimana perasaan Ibu Jinhee saat ini karena kehilangan putri semata wayangnya.

Beberapa menit berlalu. Ibu Jinhee mulai bisa menetralkan dirinya. Menghapus airmatanya dengan cepat dan tersenyum tipis pada Seokjin.

"Maaf. Tidak seharusnya aku menangis dihadapanmu."

"Tidak apa, eomeonim. Aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang."

"Ah, kalau begitu, kau ingin memakan sesuatu? Aku bisa menyiapkan sekarang."

Seokjin menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah memakan sarapanku hari ini."

"Kau memakan sarapanmu? Oh, aku tidak menyangka kau akan memakan sarapanmu."

Pria itu hanya tersenyum tipis menanggapinya. "Tapi, eomeonim.."

"Hmm? Kau membutuhkan sesuatu?"

"Bolehkah jika aku pergi ke kamar Jinhee?"

Ibu Jinhee terdiam sejenak. Sebelum akhirnya ia mengangguk menjawabnya. "Tentu saja." Ucapnya dan dibarengi dengan senyumannya.

Keduanya mulai beranjak. Tepatnya menuju kamar Jinhee. Ibu Jinhee membuka pintu kamar milik putrinya.

"Kau bisa gunakan waktumu. Tidak perlu terburu-buru. Jika kau perlu sesuatu, kau bisa panggil aku."

"Terima kasih, eomeonim."

Ibu Jinhee pun meninggalkan Seokjin setelahnya. Pria itu pun mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam yang di dominasi oleh warna putih gading itu. Memang, Jinhee-nya bukanlah seorang gadis yang mementingkan bagaimana warna kamarnya. Asalkan rapi dan bersih, itu pun sudah cukup baginya.

flower ring ❌ jinnieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang