Part 9

1.1K 175 4
                                    

"Nah, ini kamarmu untuk sementara kau tinggal disini."

Jennie menatap kamar itu. Lalu pada Ibu Seokjin dan tersenyum setelahnya.

"Kau menyukainya?"

"Ne. Terima kasih, Nyonya."

"Ck, aku bukan majikanmu. Panggil saja eomeonim. Kau kakaknya Jinhee, kan? Kau juga bisa memanggiku seperti itu."

Jennie nampak ragu disana. Dan Ibu Seokjin menangkap keraguan gadis itu. "Tidak apa. Kau juga perlu menyesuaikan dengan semua ini, kan?" Dan dijawab anggukan oleh Jennie.

"Nikmati waktumu. Aku akan keluar sebentar. Jika ada apa-apa, kau bisa panggil aku atau pelayan disini."

Jennie lagi-lagi mengangguk. "Terima kasih."

Ibu Seokjin mengangguk sekali dan berlalu setelahnya. Meninggalkan Jennie disana yang kini kembali mengelilingi pandangannya menatap pada kamar itu.

Ia menutup pintu kamarnya. Menarik kopernya bersamanya untuk masuk lebih dalam ke kamar itu. Dirinya mulai duduk pada sisi ranjang yang langsung berhadapan dengan balkon. Menatap keluar sana dan menghela napasnya setelahnya.

Jennie tak tahu kenapa ia bisa begitu saja percaya dan mengikuti pria yang bernama Seokjin itu. Padahal, dia sudah bertekad dalam dirinya bahwa ia tak akan pernah mau untuk bertemu dengan Ibu kandungnya. Memori-memori kelamnya saat kecil itu kini menyerangnya. Perlakuan Ibunya padanya akan selalu ia ingat. Luka di tubuhnya memang sudah menghilang semua. Tapi tidak dengan luka di hatinya. Dan itu tak akan pernah bisa hilang begitu saja.

Tapi Jinhee, dia selalu saja berada di sampingnya. Menyemangatinya dan mengobati lukanya. Baik itu fisik maupun batinnya. Hal itulah yang membuatnya bisa bertahan di samping Ibunya saat itu. Dan mendengar berita kematian adiknya itu benar-benar adalah hal yang paling menyakitkan baginya. Jinhee adalah segalanya bagi Jennie. Tak akan ada lagi yang akan berada di sampingnya dan menyemangatinya.

Dan sekarang, ia ingin sekali percaya pada pria bernama Seokjin itu. Mendengar kata-katanya yang seolah meyakinkannya bahwa ia akan menjadi seorang Jinhee baginya.

Ceklek

Jennie beralih ketika pintu kamarnya terbuka. Menampakkan sosok yang menjadi bahan pemikirannya saat ini.

"Apa aku mengganggu?"

Jennie menggeleng menjawabnya. "Masuklah." Dan dengan ijin itu, Seokjin pun mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar yang di tempati Jennie.

"Apa yang kau pikirkan?"

Pertanyaan itu langsung saja Seokjin tanyakan pada Jennie setelah dirinya ikut duduk di samping gadis itu.

"Tidak ada."

"Boleh aku bertanya padamu?"

Jennie menatap pada Seokjin. "Silahkan. Jika aku bisa menjawabnya."

"Kau bilang, jika ibumu sering memperlakukanmu dengan tidak baik. Apa maksudnya?"

Jennie tahu jika pertanyaan itu pasti akan Seokjin lontarkan padanya. Membuatnya hanya menghela napasnya mendengar pertanyaan itu. Tatapannya kembali menatap pada arah balkon.

"Aku dilahirkan dengan nama Kim Jennie. Dengan ayah dan juga ibu yang lengkap. Mereka menyayangiku lebih dari apapun dan lebih mementingkan kebahagiaanku di atas segalanya karena aku adalah putri satu-satunya bagi mereka."

Seokjin mengerutkan keningnya bingung. Namun ia menahannya dan memilih untuk mendengarkan kembali ucapan Jennie.

"Tapi tidak setelah kematian appa. Beliau menyelamatkanku saat itu karena rumah yang kami tinggali mengalami kebakaran. Dan kebakaran itu disebabkan olehku. Para petugas yang menyelamatkan kami berdua yang terjebak tak bisa menyelamatkan appa karena terlambat. Eomma saat itu sedang pergi keluar. Jadi, dia tidak ikut masuk ke dalam kebakaran itu.

flower ring ❌ jinnieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang