Kala itu hari rabu. Hari terakhir di bulan Januari 2018. Hari yang di malamnya ada gerhana bulan, Super Blue Blood Moon namanya.
Sore. Dentuman langit terdengar,beriringan dengan awan kelabu. Sinar senja yang seharusnya indah, menjadi tak terlihat.
Seorang insan berharap, semoga saja tidak turun rinai dari langit. Ayolah, ini peristawa langka. 152 tahun silam untuk menantinya.
Pupus. Langit mengabaikan harapan sang insan. Ia tetap bersikeras menjatuhkan rinai-rinainya. Menggiring barisan awan untuk menutupi dirinya.
Berhenti. Rinai langit tak lagi menyentuh bumi. Mengangkat harapan manusia itu, di bumi bagian tengah Nusantara.
Jatuh lagi. Ah, langit memang tahu cara membuat hati si manusia menjadi gundah.
Tapi, dialah makhluk yang bernama manusia. Tak kenal cara untuk berhenti berharap. Semoga dan semoga selalu ia utarakan. Harapan yang mengambang di langit bergabung dengan kumpulan awan kelabu.
Ah sudahlah. Ia menyerah. Asa mengusai hati. Menanti kejutan dari langit. Sayang, yang ia nantikan sesuatu yang tak pasti. Tapi, apapun yang akan terjadi nanti. Bukankah itu yang terbaik yang diberikan oleh Langit malam Januari?
//Jun 16, 2018
-tertanda gadis yang setia menatap langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harsana Wéra
Poetry"Berbahasa dengan rasa." \\ Pada teori-teori yang belum terbukti. Pada jiwa-jiwa yang menanti pasti. Kubiarkan ia membela diri dari takdir yang terus membuntuti. 🌱 Harsana: hendak, ingin, mau Wéra: lapang, lega Antologi rasa dan karsa, pada barisan...