#13 : Kupu-kupu di Hatiku

10K 475 17
                                    

Karen menepuk bahuku, bermaksud menenangkanku. Di mobil aku memang tidak menangis, namun tetap saja rasanya menyakitkan. Gara-gara ulahku Dad dilarikan ke rumah sakit. Ya, gara-gara aku. Gara-gara ide konyolku. Andai saja aku tidak melakukan tindakan yang sia-sia seperti tadi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

"Yang terjadi biarlah terjadi, Gina."

"Tapi ... tapi ...," ucapku parau, nyaris menangis, "kalau terjadi sesuatu pada Dad, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."

"Dia baik-baik saja. Daripada berpikir yang tidak-tidak mendingan kamu berdoa saja."

Karen benar. Aku harus berdoa. Itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung bertanya di mana kamar nomor 202. "Hati-hati, Gina!"

Aku tetap berlari meski beberapa kali salah memasuki koridor. Napasku rasanya sesak. Karen sepertinya tertinggal. Biarlah. Aku hanya ingin segera menemui Dad dan melihat bagaimana keadaanya. "Hei hati-hati!" Aku tak sengaja menabrak seorang dokter. "Jangan lari di koridor, bahaya!"

"Maaf."

Selama pencarian yang begitu menyiksa, akhirnya aku menemukan kamar nomor 202. Saat kutanya di mana pasien yang ada di kamar ini, seluruh tubuhku rasanya langsung lemas seketika. Dad dibawa ke ruang operasi? Apakah separah itu? Kali ini aku benar-benar menangis.

Karen datang sambil memeluk diriku. "Semuanya akan baik-baik saja." Betapa beruntungnya aku memiki sahabat seperti Karen. Selain dia rela menunggu sampai operasi selesai, dia jiga rela menunggu semalaman penuh.

Kata dokter Dad baik-baik saja. Operasi yang dimaksud hanya operasi kecil mencabut kaca yang menusuk bagian rahangnya dan menjahit luka robek di pelipisnya. Karena Dad cukup banyak mengluarkan darah sampai jam dini hari Dad belum juga sadarkan diri.

"Kamu pulang saja, Karen. Aku baik-baik saja sekarang."

Karen mendengus. "Berulang kali kukatalan padamu, Gina. Aku di sini. Paham?"

"Kalau begitu tidur saja di sofa."

"Oke tapi nanti. Aku akan menemanimu sebentar lagi."

Kupandangi wajah Dad. Jika perasaan yang kurasa ini benar-benar cinta, haruskah aku menerimanya begitu saja? Ternyata masih berlanjut. Tentang apakah aku menyukainya sebagai seorang anak atau lebih. Ini terasa menyakitkan.

"Karen," kataku pelan, "aku kembali bimbang," lanjutku.

Tangannya cepat memegang wajahku. Dia menampar pelan kemudian menatap lekat mataku. "Ke mana Gina yang selama ini kukenal? Kamu adalah perempuan terpercaya diri yang pernah kukenal. So, jadilah dirimu yang itu. Kamu punya kekuatan yang bisa memujudkannya."

Bibirku tersungging. "Terima kasih tapi itu tidak menjawab pertanyaanku." Mata Karen memutar lagi.

"Mendingan aku tidur saja."

"Karen." Dia menoleh sebentar. "Sekali lagi terima kasih." Tanganku bergerak untuk menggenggam tangan Dad. Rasanya damai sekali bisa memegang tangan kokoh dan besarnya. Suatu saat, aku ingin selalu bisa memegang tangan besar ini. Jika bisa, aku ingin menggenggamnya sambil jalan-jalan di pantai atau bahkan sesaat sebelum tidur.

Tidurku malam ini, meski terasa menyiksa, namun aku tetap merasakan kedamaian. Aku merasa rambutku diusap seseorang. Siapa itu? Mataku perlahan terbuka. Ketika melihat orang pertama yang kulihat adalah Dad yang tengah tersenyum padaku, sontak aku langsung menghamburkan wajahku ke atas wajahnya. "Dad maaf!" ucapku. "Gara-gara aku, gara-gara aku Dad kecelakaan. Maaf."

"Kenapa kamu tidak pulang? Kamu sampai ketiduran di sini."

"Bagaimana keadaan Dad!? Maaf!"

"Gina, Dad baik-baik saja. Makasih ya sudah mengkhawatirkan keadaan Dad."

Sikap baik Dad membuatku semakin merasa tidak enak. "Tapi gara-gara Gina Dad jadi ... Dad jadi ...."

Dad menggeleng. "Kecelakaan kemarin murni gara-gara Dad nggak hati-hati. Kemarin calon istri Dad tiba-tiba saja menolak dan membatalkan pernikahan setelah mengetahui Dad punya hutang cukup besar. Dad frustasi. Ditambah Dad dengar kamu kecelakaan jadi Dad mengemudikan mobilnya ... ya ... sedikit kesetanan. Kamu lihat kan hasilnya sekarang?"

Aku sejujurnya bingung apakah aku harus senang atau sedih mendengar fakta itu. Namun yang kutahu, kupu-kupu telah masuk ke dalam hatiku. Kurasa aku akan menanyakannya pada kupu-kupu itu tentang perasaanku sekarang. Tak kusangka, dia menjawab lantang, "Aku bahagia."

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang