#18 : Mom

10.3K 535 85
                                    

Maaf part sebelumnya tidak membalas komentar kalian. Saya akhir-akhir ini sedikit sibuk. Meski begitu, saya akan menyempatkan update setiap hari.

Napasku memburu.

Beruntung, aku sudah masuk ke dalam mobil sehingga Dad tidak bisa menangkapku. Namun nahasnya, Dad diam di tengah jalan sehingga Rick Teddy tidak melajukan mobilnya. "Please, Rick. Bawa aku pergi ke mana pun itu." Rick memandangku cemas.

"Kamu yakin?" tanyanya.

"Yakin. Please."

"Tapi masalahnya ... gimana aku keluar dari situasi ini? Di depan sana ada Ayahmu."

Ayah berjalan menghampiri moncong mobil kemudian memukulnya cukup keras. "Gina keluar!" Dak dak dak! Kukira setelah aku masuk ke dalam mobil aku bisa bernapas lega tetapi ternyata tidak. "Apa yang kamu pikirkan Gina!? Keluar! Go out, Gina! And you ...," tunjuk Dad pada Rick. "KELUARKAN ANAK SAYA!"

"Buka jendelanya," bisikku. "Jika dia menghampiri jendela, langsung tancam gasnya."

"Tu-tunggu, itu berbahaya, Gina. Bisa saja Ayahmu memegang mobil sehingga dia terbawa."

"Kumohon lakukan!"

"O-oke."

Nyatanya Dad tidak menghampiri kaca jendela mobil. Aku semakin frustasi. Kucoba membuka jendela kaca di sampingku. Ternyata Dad langsung berlari, mungkin bermaksud menangkap tanganku supaya Rick tidak bisa melajukan kendaraannya. Tak membuang kesempatan itu, Rick langsung menancapkan gas meninggalkan Dad yang tengah teriak-teriak memanggil namaku. Ada apa dengan Dad? Padahal seharusnya jika dia membenciku, dia tak perlu repot-repot mengejarku. Jelas bukan. Dalam situasi seperti ini mana mungkin aku mengerti jalan pikirannya.

"Aku tidak menyangka dramanya akan sehebat itu," kata Rick. Aku terdiam. "Sepertinya aku salah memberi saran. Maaf."

"Tidak salah. Hanya saja, hati perempuan itu rumit. Laki-laki kebanyakan tidak akan mengerti dan tidak mau mengerti."

"Aku sudah dengar rumornya dari Johan. Kurasa itu bukan hanya sekadar berita burung."

"Ya memang benar. Dan, Dad mengetahuinya. Kemarin kukatakan padanya itu upaya aku berdamai dengan hatiku yang masih saja mencintai Dad. Kamu tahu bagaimana reaksinya?"

"Hmmm actually i see. Hanya dengan melihat perdebatan kalian tadi aku bisa membayangkan bagaimana alurnya."

Aku tertawa. "Kamu kira novel, huh?"

"Hidup adalah novel. Tahu kenapa?"

Aku menggeleng. "Karena mustahil tidak ada drama."

Kalimat Rick ... membuatku bungkam. Dia benar. Setiap orang pasti memiliki drama dalam hidupnya.

"I see."

"Mau ke mana?"

"Antar saja ke rumah Mom." Kukatakan pada Rick di mana alamatnya. Dia tidak mengeluh padahal jaraknya sangat jauh. Dia memang pria baik.

"Jadi, Gina, tertarik membicarakan sesuatu?" Aku terdiam. "Kurasa tidak," lanjutnya. "Kamu tenangkan saja pikiran kamu. Badai selalu berlalu. Itu sudah jadi hukum alam. Aku tahu kata semangat akan terdengar bullshit di telinga kamu, tapi aku akan tetap mengucapkanmya. Semangat. Untuk hidupmu ... dan untuk cintamu."

***

Mom senang sekali aku datang ke rumah. Namun kesenangan itu langsung hilang ketika dia melihat wajah muramku yang dipenuhi kesedihan. Telunjuknya mengarah ke arah Rick sembari berkata, "Apa yang kamu lakukan pada anak saya!? Kamu menghamilinya!?"

"Oh puh-lease, Mom. Dia sahabatku. Aku memang sedang patah hati, tapi bukan dia orangnya."

"Kamu yakin?"

"Super yakin."

Alex—Ayah tiriku—sedang keluar kota jadi di rumah ini hanya ada kami bertiga.

"Menginap saja, Rick."

"Tidak usah tan—"

"Sip kalau gitu. Saya buatkan makan siang untuk kita bertiga. Makan malamnya kamu yang buat ya, Rick."

Aku tersenyum tipis. "Di rumah ini dilarang membantah. Sudah menginap saja kalau kamu tidak ada acara, lagian ada yang mau aku bicarakan nanti malam."

"Kenapa tidak sekarang?"

"Hmm biar suasanya kondusif saja."

"So so, kapan rencana kalian menikah? Mom udah nggak sabar ingin menimang cucu," kata Mom penuh semangat. Aku menunduk sedih. Perangai Dad tiba-tiba saja muncur ke permukaan.

"Eh? Kenapa kamu—"

Aku bangkit lalu pergi ke toilet. "Dia benar-benar sedang patah hati," kata Rick.

"Kalian bukan kekasih!? Padahal saya sudah merestui."

Samar-samar aku bisa mendengar mereka mengobrol. Sial. Aku memang dekat dengan Mom. Setiap ada masalah aku selalu menceritakannya padanya. Namun bagaimana mungkin aku menceritakan masalah ini? Terlalu riskan. Mom adalah orang yang tegas. Ketika dia bilang A maka hasilnya akan tetap A. Dulu sekali aku ahli bermain tenis, bahkan terpilih jadi perwakilan sekolah dalam perlombaan nasional. Di final, Mom tidak mengizinkanku bermain karena saat itu aku cedera ringan. Pelatih dan dokter sudah mengizinkanku bermain, namun Mom bersikeras melarang. Dia selalu saja seperti itu.

"Gina, makanannya sudah siap," kata Rick sambil mengetuk pintu.

"Sebentar lagi aku ke sana," jawabku.

Di meja makan tak ada yang berbicara. Baru setelah aku menyelesaikan sendok terakhirku, Mom berkata, "Jadi, apa masalahmu? Apakah Dawson menyakitimu?" tanya Mom tepat sasaran. Kenapa dia bisa berpikir aku sedang ada masalah dengan Dad!? Kutatap Rick tajam. Aku marah padanya sekarang. "Jangan alihkan tatapanmu. Rick tidak bersalah, Mom hanya tahu dari gelagatmu. Mom cukup percaya tidak ada laki-laki yang bisa menolakmu, jadi masalahmu bukan masalah cinta."

Mom setengah benar dan setengah salah.

"Mom, plese jangan bahas itu," kataku sedih.

"Mom tidak akan peduli jika masalah itu tidak mengganggu pendidikanmu."

"Mom—"

"Jadi benar gara-gara Dawson!?" Mata Mom menyalang marah.

Di saat yang bersamaan pintu rumah terbuka, lalu seorang pria yang sangat kukenali berjalan cepat ke arah meja makan. "Gina! Kamu di sini rupanya. Ayo pulang, kita bicarakan di rumah."

Dad, dia ada di sini.

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang