#16 : Pelarian?

12.8K 506 81
                                    

Saya menyadari cerita ini geje, amatir, aneh, nggak masuk akal, bahkan mungkin jelek. So, maaf kalau di antara kalian yang menyesal karena telah membiarkan waktu kalian terbuang percuma untuk membaca cerita ini.

Selamat membaca.

Semoga kalian menikmati membaca cerita ini sebagaimana saya menikmati ketika membuatnya.

Maaf jika ada komen kalian yang belum saya balas, tapi ... thanks! ☺

Haruskah aku menyesal?

Kejadian minggu lalu, saat aku memutuskan memulai hubungan dengan CEO muda, aku malah diperkosa oleh dia.

Aku tahu, itu upayaku untuk menghilangkan rasa cintaku pada Dad. Namun meskipun begitu, kejadiannya malah seperti ini. Aku telah dipecundangi oleh pria brengsek itu. Lagi, haruskah aku menyesal? Tidak, seperti kata Rick, aku hanya harus terus mencari seseorang yang pas meski harus melalui begitu banyak kegagalan.

Kali ini aku dekat dengan Nick. Dia dua tingkat di atasku. Johan mengetahui aku dekat dengannya dan secara terang-terangan dia menyuruhku untuk menjauhi Nick dengan alasan yang dibuat-buat. Itu artinya Karen masih belum mampu menaklukan hati Johan. Mengenai Dad sendiri, dia mulai senang ketika melihatku berusaha memulai hubungan dengan seseorang. Dia mendukungku 100 %.

"Kamu mau ke mana?" tanya Johan.

"Menemui, Nick. Karen, kamu sama Johan saja ya. Aku ada urusan."

Nick pria yang baik, tampan dan juga pintar. Walau sebenarnya, pria semacam dia banyak sekali di kota ini. Stok pria tampan seakan tidak ada habisnya.

Dia menungguku di kantin kampus, seorang diri. Di sana kami berdua berbincang sebentar sebelum akhirnya memutuskan jalan-jalan mengunjungi tempat wisata yang ada di kota Fork. Sayangnya, selama aku jalan sama Nick, aku tidak merasakan apa-apa. Nick pria baik yang sopan. Bahkan dia bilang suka padaku dan menanyakan apakah aku ingin memulai hubungan dengannya atau tidak. Sayangnya irama jantungku masih saja sama. Tidak ada debaran aneh. Itu artinya, aku tidak bisa melanjutkannya.

"Bagaimana, Gina?"

Aku menatap mata penuh harapnya. "Oke." Akan kucoba. Mungkin, dua 2 atau 3 minggu kemudian rasa sukaku padanya akan timbul. Nahas, baru saja jalan tiga hari aku sudah tidak kuat! Aku muak dengan sifat baiknya yang terkesan terlalu hati-hati dan selalu menyalahkan diri sendiri.

"Aku mau minta putus," kataku sedikit sungkan.

Nick tentu saja terkejut. "Aku salah apa, Gina? Maaf aku—"

"Bukan, Nick. Kamu terlalu baik."

"Terlalu baik?"

"Bukan begitu maksudku. Ada orang yang kusuka selain kamu," kataku setengah jujur. Aku memang menemukan pria yang lebih tampan darinya dan dia ketua basket di kampus ini. "Sekali lagi maaf, terima kasih, Nick. Aku tidak akan melupakanmu."

Lalu fokusku pun teralih pada Stevan. Setiap malam minggu aku selalu melihat pertandingannya. Selain itu aku mulai menjauh dari kelompok Johan dan Kate. Mereka sering mengajakku mengobrol, namun aku lebih sering menghindar entah kenapa, termasuk menghindari Karen, sahabatku.

"Haus?" kataku sembari menyodorkan air mineral.

Stevan mengangguk. "Terima kasih," katanya. "Aku akan bermain satu set lagi, tidak masalah kan?"

"Tentu," sahutku sembari tersenyum.

Hubunganku dengan Stevan semakin membaik. Dia baik, dia tampan dan dia populer. Selama 1 bulan pendekatan, akhirnya dia menyatakan cinta padaku setelah memenangkan pertandingan basket di depan semua orang yang ada di sana. Well, aku speechless. Hanya saja, lagi-lagi, aku merasa ... kosong. Hatiku masih menolak Steven untuk masuk ke dalam sana.

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang