#2 : Hukuman Pertama

38.4K 958 24
                                    

Ciuman laki-laki tadi membuat kami semua syok. Karen, dia memandangku dengan mata berbinar. Dasar Karen, harusnya dia marah, tetapi kenapa malah ada kilatan senang di dalam matanya?

"Karen maaf, itu terjadi begitu saja," kataku.

Karen menggeleng. Dia memegang bahuku kemudian berbisik, "Hanya dengan menonton saja, jantungku dibuat berdegup dengan kencang. Apalagi merasakannya ya? Katakan padaku Gina! Bagaimana perasaanmu dicium laki-laki setampan dia!"

Baru saja aku ingin berkata ciuman itu sangat membosankan, lima orang perempuan cantik dan pastinya kaya raya menghampiriku. "Halo, bitch. Itu ciuman tantangan, jadi kamu jangan besar kepala."

Mereka semua tersenyum mencemooh. Baiklah aku sudah punya musuh di hari pertama aku masuk kuliah.

"Bitch, kamu pergi saja sana."

Dia pikir aku takut sama ancamannya? Tentu saja takut, tapi karena di sampingku ada Karen, aku jadi berani melawan mereka. "Bitch teriak bitch? Nggak salah tuh?" Mata mereka langsung menyalang.

"Kamu!" tunjuk wanita itu dengan jarinya. "Shit!"

"Hajar saja!"

Karen langsung maju ke depan dan bersedekap angkuh. "Kalian menyentuh sahabatku, saat itu juga kalian akan kubawa ke rumah sakit," katanya tegas, penuh penekatan.

"Kamu pikir aku ta—"

BUGH!

"AKU BILANG SENTUH SAHABATKU, AKAN KUBAWA KAU KE RUMAH SAKIT!" teriak Karen setelah memukul salah satu di antara mereka hingga terjungkal ke belakang. Aku terharu. Meskipun ini bukan kali pertama Karen melindungiku, tapi tetap saja perlakuannya begitu ... epic. Aku merasa beruntung karena telah memiliki sahabat sepertinya, meskipun pada akhirnya kami akan terkena masalah. Tapi itu tak penting.

"KAMU! APA YANG KAMU LAKUKAN!?" Mereka bersiap-siap memukul Karen balik namun ditahan oleh pria yang tadi menciumku. Sejak kapan mereka datang ya?

"Kamu tenang! Jangan berantem di kantin, nggak malu hah diliatin sama semua orang?" katanya.

"Dia yang mulai, Johan!"

Jadi namanya Johan? Nama yang sangat bagus. Sayangnya, aku tidak tertarik. Nama Ayah juga bagus, kok. Dawson. Hanya ada beberapa orang nama seperti itu di kota ini.

"Kita pergi saja, Karen," ucapku tak berdosa. Karen mengangguk sambil tertawa lalu melengos pergi. Bukannya kabur, kami berdua hanya merasa telah memenangkan pertandingan karena telah mempermalukan mereka.

"Tu-tunggu," kata Johan. Dia meninggalkan mereka begitu saja lalu memegang bahuku. "Datanglah ke pesta ulang tahunku malam ini. Aku jamin, kamu tidak akan menyesal," katanya membuat Karen impuls menyikut bahuku yang artinya aku harus menerimanya.

"Baiklah. Sahabatku diajak, 'kan?" sahutku.

"Tentu."

"Kalau begitu ... sampai jumpa nanti malam, Johan."

"Tu-tunggu," ucapnya lagi. "Siapa namamu?" lanjutnya.

"Nama sahabatku Karen." Dia masih menatap mataku lekat. "Dan, aku sendiri Gina. Nice to meet you, Johan."

"Ah ya, nice to meet you too. Hmmm bagaimana jika kita makan bersama? Aku yang traktir."

"Sorry nih, aku malas kalau ada cewek bego kayak mereka. See ya."

Kami pun pergi. Karen berkata, "Senang berkenalan denganmu, Johan. Kami pamit pergi."

"Karen kah?" Karen berhenti kemudian berbalik. "Teman yang baik."

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang